Jumat, 19 April 2013

Nasionalisme: Ali Abdul Razik

PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ALI ABD AL-RAZIQ

PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ALI ABD AL-RAZIQ
Oleh:
Dodi Irwandi*
Jusneli**
“Akhlak yang buruk itu ibarat tembikar yang pecah. Tidak dapat dilekatkan lagi dan tidak dapat dikembalikan menjadi tanah”[1]
[Wahab B. Munabin]

A.  Pendahuluan
Islam dan politik, demikian dua kata ini tidak habis-habisnya menjadi perbincangan (discourse) dalam khasanah intelektual muslim sebagai idea Islam. Dan kenyataan sepanjang sejarah. Banyak dari para pemikir Islam klasik (islamisist konvensional), modern dan neo modern, yang mencoba memberikan sebuah penjelasan hubungan antara Islam dan politik, dengan beragam cara pendekatan dan metode yang berbeda-beda.[2]
Hubungan antara Islam dan politik merupakan objek sebuah perdebatan luas zaman kita, baik dalam negara-negara Islam  maupun di Barat. Dengan melihatnya dari dekat, kita mendapatkan kesan bahwa perdebatan ini terjadi dalam dua ruang yang tak terkait satu sama lain, bahkan tidak saling kenal: yang satu adalah negara-negara “utara”, sementara yang lain adalah negara-negara yang terpengaruh Islam. Didalam kedua lingkungan ini, proses pemikiran berlangsung atas dasar konsep-konsep yang berbeda dan merujuk pada data yang berbeda pula. Akibatnya, sering muncul elaborasi dan pengambilan sikap yang secara mendasar bersimpangan, atau bahkan kesimpulan-kesimpulan yang bertentangan secara diametral.[3]
Pemisahan agama dan negara, menurut Swidler misalnya hanya representasi dari pemikiran Kristen. Sementara dalam Islam berlaku penyatuan agama dan negara. Adapun di kalangan Yahudi lebih cenderung ambigu, meskipun pandangan Swidler ini dapat diperdebatkan, sebab seperti dikatakan Davis, Yahudi lebih menerapkan panyatuan agama dan negara atau politik, sebagaimana mereka menggunakan agama untuk menjustifikasi klaim atas tanah Tepi Barat jalur Gaza sebagai hadiah Tuhan. “ hak (atas tanah) ini diberikan kepada kami oleh Tuhan, ayah Abraham, Isaac dan Jacob”, kata Mencachem Begin.[4]
Di negara-negara Islam, misalnya, publikasi karya Ali Abd al-Raziq pada tahun 1925[5] merupakan peristiwa besar. Sejak saat itu, guncangan terhadap karya itu tidak dapat lagi diabaikan, dan persoalannya tidak dapat ditangani sebagaimana sebelumnya. Pendekatan yang diambil Ali Abd al-Raziq ini sebenarnya telah merombak asumsi dasar perdebatan. Pendekatan itu merupakan sebuah momen menentukan yang telah amat memengaruhi perkembangan-perkembangan historis dan analisis-analisis teoritis sepanjang beberapa dasawarsa setelah itu. Akan tetapi, di Barat perdebatan terjadi seolah-olah ali Abd al-Raziq berikut evolusi yang dipicu bukunya, yakni seolah-olah keseluruhan pemikiran Arab kontemporer, tidak eksis.
Bagaimana menjelaskan dapat terjadinya pemilahan ini, menyangkut tema yang sedemikian krusial bagi masyarakat kontemporer? Bagaimana menjelaskan bahwa di Barat, mengenai masalah yang sedemikian penting bagi umat Islam, sedangkan pemberitaan gencar di dalam media dan perhatian besar yang ditimbulkan oleh tema hubungan antara Islam dan kekuasaan bukanlah hal yang baru. Tidak berkaitan dengan peristiwa-peristiwa mutakhir, tetapi sebaliknya asal-usulnya harus dicari sejauh tahun 1920-an. Seolah-olah sejak waktu itu telah terjadi sebuah “kekacauan besar” (fitnah kubra) baru yang menyangkut intelektual umat, politisi, dan rakyat bersama-sama dalam permasalahan yang besar.[6]
Hubungan antara Islam dan kekuasaan, sepanjang abad ke-20, telah menjadi salah satu persoalan terbesar dalam pemikiran politik, menjadi salah satu ilustrasi yang sangat dramatik dari persoalan umum  dari hubungan antara agama dan politik. Dimana-mana, kesan yang dominan adalah kesan adanya sebuah kemacetan. Kalangan intelektual merasa berurusan dengan sebuah pertanyaan yang masih menggantung, yang masih belum dipecahkan, yang tidak pernah ditangani dengan ketajaman nalar dan kejelasan yang seperlunya. [7]
Jika hubungan antara antara agama dan negara baik dalam Islam maupun lainnya, merupakan salah satu problem yang paling kompleks yang dihadapi pemikiran modern, maka yang merupakan resistensi Islam terhadap solusi-solusi yang didasarkan atas koeksistensi dengan rezim-rezim modern bukan hanya merupakan problema bagi umat Islam, melainkan juga bagi orang non-muslim, karena kita masih dicirikan dengan globalisasi, yakni saling silang masuk antara masyarakat, komunitas dan budaya yang berbeda.
Karya Ali Abd al-Raziq tidak diragukan lagi merupakan keterpurukan dalam cara mengatasi persoalan. Dengan demikian, muncul pertanyaan mendasar mengenai apa, dalam karya ini, yang telah memengaruhi perdebatan hingga memperbaharui keseluruhan asumsi pemikirannya.

B.  Riwayat Hidup Ali Abd al-Raziq
1.   biografi
Ali Abd al-Raziq lahir pada tahun 1888 M di wilayah Al-Mania, Mesir. Ali Abd al-Raziq wafat pada tahun 1966 M. Ayahnya adalah seorang pembesar (gubernur) yang terpandang dan aktivis politik terkenal. Ayahnya juga merupakan tuan tanah di Desa Abû Jirj, Provinsi Al- Minyâ.[8] Hasan Abdurraziq, nama lengkap ayahnya, adalah seorang sahabat Muhammad Abduh. Ia pernah menjadi wakil ketua Partai Rakyat (Hizb al-Ummah), tahun 1907.[9] Saudara-saudara Ali Abdurraziq adalah aktivis politik yang andal. Salah seorang saudaranya, Hasan Abdurraziq Jr., mendirikan partai bernama hizb al-Ahrâr al-Dustûriyah yang mempunyai hubungan dengan Inggris.[10]

2.   Pendidikan
Ali Abd al-Raziq menempuh pendidikan formalnya di Al-Azhar sejak masih berusia 10 tahun bersama kakaknya Musthafa Abdurraziq. Ia belajar ilmu hukum kepada Syekh Abu Khatwah, yang merupakan sahabat Muhammad Abduh dan Murid Al-Afghani. Dia juga pernah mengikuti perkuliahan di al-Jâmi’ah al-Mishriyah dan belajar sejarah peradaban Arab pada Prof. Santillana.[11] Seperti saudaranya, ia juga murid Syekh Muhammad Abduh.
Setelah tamat dari Al-Azhar, ia bersama kakaknya melanjutkan studi di Eropa. Musthafa belajar di Paris, sedangkan dia sendiri belajar di Oxford University di Inggris. Di sana ia menekuni ilmu politik dan ekonomi serta hukum. Namun belum sempat menamatkan pendidikannya, ia pulang ke Mesir, karena perang dunia I meletus pada tahun 1914. [12]
 Berbeda dengan saudaranya, Musthafa Abdurraziq, yang menjabat rektor Al-Azhar dari tahun 1945 sampai dengan 1947,[13] Ali Abd al-Raziq menjabat sebagai hakim[14] di pengadilan Syariat Al-Mansûra yang juga terletak di Al-Azhar. Dilihat dari riwayat pendidikannya ini, dapat kita pahami bahwa Ali abd al-Raziq adalah seorang ahli agama dan ahli politik.

3.    Latar belakang bidang sosial ekonomi
Pada bulan Maret 1924, Kemal Attaturk kepala negara Turki mengumumkan dihapuskannya Khilafah Islamiyah dari negaranya. Gema dari kebijakan tersebut berkumandang ke seluruh penjuru dunia Islam. Pada waktu itu sebagian besar umat Islam dan ulama menganggap dan menyatakan Khilafah Islamiyah wajib hukumnya dan masalah tersebut sudah final serta sudah mengakar di kalangan umat Islam pada umumnya dan dunia Arab khususnya. Tetapi sebaliknya, Ali Adb al-Raziq melihat realita sejarah Islam tidaklah memberikan keharusan bentuk organisasi politiknya bernama khilafah dan pemimpinnya disebut sebagai khalifah. Hal ini dapat dilihat dengan hilangnya peran kedaulatan rakyat dalam proses politik dan terbentuknya sistem khilafah yang berdasarkan keturunan sebagai refleksi hilangnya esensi ajaran Islam dari amaliah di bidang politik.
Gagasan politik al-Raziq yang demikian itu terlahir sebagai akibat bergolaknya revolusi politik yang telah memisahkan kekuasaan politik keagamaan yang begitu mendominasi di dunia Islam, terutama yang terdekat dengan lingkar kehidupannya seperti revolusi Oktober 1917, revolusi Marxis-Leninisme, dan revolusi Turki 1925 dengan bentuk sekularismenya, serta timbulnya nasionalisme Arab yang telah melahirkan kerajaan. Dengan teorinya ini, ia ingin menemukan konsep politik yang Islami, namun dibahasakan dengan perlunya pemisahan antara agama dan politik yang keduanya tidak mungkin dapat disatukan. Menurutnya agama bersifat sakral, sedangkan politik bersifat lebih duniawi.[15]

4.   Karya-karya Ali Abd Al-Raziq
Karya-karya Ali Abd al-Raziq banyak menimbulkan kontroversi bahkan menyebabkan dia dipecat dari jabatannya. Diantara karya-karyanya tersebut adalah sebagai berikut.
a.    Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm: Ba’ts fî Al-Khilâfah wa Al-Hukûmah fî Al-Islâm (Islam dan Prinsip-prinsip Pemerintahan).
Buku ini diterbitkan di Kairo pada tahun1925. Buku ini merupakan hasil penelitiannya tentang lembaga khalifah, yang dibukukan pada saat ia masih menjabat sebagai hakim di Mahkamah Syariah Al-Azhar.[16]
Buku ini berisi teori politik Islam tentang khilafah dan negara. Ali Abdul raziq berpendapat bahwa agama Islam harus terbebas dari khilafah yang dikenal kaum Muslim selama ini, dan juga terbebas dari apa yang mereka bangun dalam bentuk kejayaan dan kekuatan. Khilafah bukanlah bagian dari rencana atau takdir agama tentang urusan kenegaraan. Tapi ia semata-mata hanyalah rancangan politik murni yang tak ada urusannya dengan agama. Agama tidak pernah mengenalnya, menolaknya, memerintahkannya, atau pun melarangnya. Tapi ia adalah sesuatu yang ditinggalkan kepada kita agar kita menentukannya berdasarkan kaedah rasional, pengalaman, dan aturan-aturan politik. Begitu juga pendirian lembaga militer, pembangunan kota, dan pengaturan administrasi negara, tak ada kaitannya dengan agama. Semua itu diserahkan kepada akal sehat dan pengalaman manusia, untuk memutuskan mana yang terbaik.[17]
Keyakinan Ali Abd al-Raziq yang tak mempercayai pendirian negara Islam adalah, Muhammad diutus kepada bangsa Arab semata untuk memperbaiki moralitas mereka. Tugas utama Nabi adalah menyampaikan sebuah risalah kenabian yang mengandung pesan moral. Nah, saat Nabi membangun sebuah komunitas Madinah, ia tak pernah menyatakan satu bentuk pemerintahan yang harus diterapkan, bahkan ia pun tak meminta penerusnya, para khalifah, untuk membuat satu sistem politik tertentu.
Karena itu Ali yakin, impian sebagian umat Islam untuk membentuk dan mendirikan negara Islam adalah sesuatu yang tidak ditarik dari sejarah Nabi. Ali juga mencatat, jika pun ada warna negara "Islami" tak lebih hanyalah sebuah ijtihad politik para sahabat sepeninggal Nab
i. [18]
Ali melakukan studi dan meyakini hal itu, terlebih setelah dia melihat perbedaan anutan sistem pemilihan khalifah di antara para sahabat. "Bukankah sistem pemerintahan yang dijalankan Abu Bakar berbeda dengan Umar, yang juga berbeda dari Utsman dan Ali? Dan bukankah sistem khilafah model Umayyah dan Abbasiyyah tak lebih dari ijtihad politik sebagian orang-orang dari klan itu? Khilafah, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai satu keharusan mutlak, ternyata merupakan bentukan sejarah yang dimulai masa Abu Bakar dan dimatangkan oleh Bani Umayyah dan Abbasiyyah," tulisnya.[19]
Karyanya ini pula yang membuat dia dipecat dari jabatannya sebagai hakim, disebabkan atas desakan para ulama Al-Azhar karena didalam buku tersebut Ali Abd al-Raziq menentang pandangan bahwa Islam sudah menetapkan bentuk otoritas politik khusus, atau bahwa Islam sudah mengesahkan bentuk pemerintahan tertentu.[20]
Bahkan dalam sidang ulama besar Al-Azhar ia tidak lagi diakui sebagai ulama dan namanya dihapus dari daftar ulama Al-Azhar. Berdasarkan keputusan sidang yang dihadiri oleh para anggotanya diputuskan bahwa buku itu mengandung pendapat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pendapat yang tertuang dalam bukunya itu tidak mungkin keluar dari seorang Islam, apalagi seorang ulama.[21]
Buku yang mengandung reaksi keras ini secara garis besarnya berisi tentang penolakan terhadap sistem khilafah.[22] Sedang masalah khilafah pada saat itu menjadi agenda yang akan dibahas dan dihidupkan oleh Rasyid Ridha dan kawan-kawannya yang bersemangat mempersiapkan muktamar akbar Islam di Kairo. Karena momennya kurang tepat, reaksi negatif atas buku ini pun gencar dilakukan ulama. Oleh karena itu, menurut Munawir Sjadzali, saham Rasyid Ridha cukup besar dalam kampanye yang berakhir dengan pengutukan dan pengucilan Ali Abd al-Raziq oleh ulama Al-Azhar.[23]
b.    Min Atsâr Musthâfâ ‘Abd Al-Râziq dan Al-Ijmâ’ fî Al-yarîah Al-Islâmiyah.
Buku ini (Min Atsâr Musthâfâ ‘Abd Al-Râziq) merupakan hasil studi Ali Abd al-Raziq tentang kehidupan dan karya saudaranya Musthafa Abdurraziq. Min Atsâr Musthâfâ ‘Abd Al-Râziq diterbitkan pada tahun 1957 di Kairo dan buku  Al-Ijmâ’ fî Al-yarîah Al-Islâmiyah[24] diterbitkan pada tahun 1947 di Kairo.[25]
            Bersama karya Thâhâ Husain, Fî Al-Syi’r Al-Jâhilî, yang terbit pada tahun 1926, karya Ali Abd al-Raziq (Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm) dianggap oleh ulama dan kalangan Muslim melontarkan tantangan serius terhadap keabsahan Islam sebagai sebuah agama. Peristiwa khusus yang mendorong studi Ali Abd ar-Raziq ini adalah penghapusan sistem khalifah oleh pemerintah Turki yaitu Mustafa Kemal Attaturk pada tahun 1924. [26].
Sebagian ulama tradisional Mesir menyamakan al-Raziq dengan Mustafa Kemal Attaturk, bahkan menganggapnya lebih buruk dan lebih berbahaya dari tokoh sekularisme Turki itu. Kedua tokoh ini memang hidup sezaman dan memiliki ideologi politik yang kurang lebih sama. Kedua tokoh Islam itu mendapat hujatan luar biasa dari mayoritas kaum Muslim. Beruntunglah Ataturk, karena ia seorang kepala negara, ia bisa leluasa menerapkan ideologinya di Turki. Sementara al-Raziq mendapatkan kecaman dan hinaan dari rakyat Mesir.
Setelah perang dunia I, banyak orang Islam merasa terancam oleh meningkatnya penetrasi kolonial Barat, seperti Inggris, dan Perancis. Terutama setelah jatuhnya Kesultanan Utsmaniah. Dalam pandangan kaum Muslim, keruntuhan itu menunjukkan dengan jelas betapa lemahnya politik Islam.

C.  Pemikiran-pemikiran Ali Abd al-Raziq
1.   Pemikiran tentang Khilafah
Secara umum, karya tulis Ali Abdal-Raziq ini dibagi menjadi dalam tiga bagian[27]. Dalam bagian pertama, diuraikan tentang definisi khilafah atau lembaga khilafah beserta ciri-ciri khususnya. Kemudian dipertanyakan pula tentang dasar anggapan mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan suatu keharusan agama. Akhirnya dikemukakan bahwa baik dari segi agama maupun dari segi rasio, pola pemerintahan khilafah itu tidak perlu.
Menurut ali Abd al-Raziq, pengertian khilafah identik dengan imamah, baik dari segi bahasa maupun dari segi terminologi fuqaha. Ia berpendapat bahwa khilafah adalah suatu pola pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi dan mutlak pada seorang kepala negara atau pemerintahan dengan gelar khalifah, pengganti Nabi Muhammad Saw, dengan kewenangan mengatur kehidupan dan urusan umat-rakyat, baik keagamaan maupun keduniaan yang hukumnya wajib bagi umat untuk patuh dan taat sepenuhnya.[28]
Dari definisi khalifah diatas jelas bahwa Ali Abd al-Raziq beranggapan bahwa tugas khalifah adalah melaksanakan hukum dan peraturan syari’at. Persoalan yang timbul adalah bagaimana jika syari’at sudah berjalan dengan baik dan keadilan merupakan kenyataan yang riil dikalangan umat islam?
Kebanyakan ulama menyatakan wajib (fard)[29] mendirikan khilafah atau lembaga khalifah bagi umat Islam, dan berdosa kalau tidak dilaksanakan. Dalil wajibnya khilafah tersebut diambil dari ‘ijma’ sahabat dan ‘ijma ummah. Menurut para ulama juga bahwa “ ‘ijma adalah salah satu sumber syara’, di mana demikian wajibnya khilafah atau imamah adalah wajib syar’i ”. Terdapat pengecualian, yaitu golongan Khawarij dan Mu’tazilah.[30] Mereka menyatakan bahwa tidak semestinya khilafah dilaksanakan jika syari’at dan keadilan sudah berjalan dengan baik.[31] Seiring dengan pernyataan itu, Ali Abd al-Raziq juga mengatakan bahwa anggapan mendirikan khilafah itu wajib adalah keliru, karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Bahkan hanya bersandar kepada ijma’ dan nalar analoginya.
Menurut pengamatan Ali Abd al-Raziq, semua dalil yang menyatakan  wajibnya mendirikan khilafah tidak berdasarkan dalil al-Qur’an yang qath’i.
Sementara pemikir Islam, Rasyid Ridha[32], mendasarkan keyakinan bahwa mendirikan khilafah itu merupakan keharusan agama, atas Al-Qur’an Surat al-Nisaa ayat 59 dan 83:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
Artinya:  “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
#sŒÎ)ur öNèduä!%y` ֍øBr& z`ÏiB Ç`øBF{$# Írr& Å$öqyø9$# (#qãã#sŒr& ¾ÏmÎ/ ( öqs9ur çnrŠu n<Î) ÉAqߧ9$# #n<Î)ur Í<'ré& ̍øBF{$# öNåk÷]ÏB çmyJÎ=yès9 tûïÏ%©!$# ¼çmtRqäÜÎ7/ZoKó¡o öNåk÷]ÏB 3 Ÿwöqs9ur ã@ôÒsù «!$# öNà6øŠn=tã ¼çmçGuH÷quur ÞOçF÷èt6¨?]w z`»sÜøŠ¤±9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÌÈ  
Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[33]di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri)[34]. Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).

Ayat-ayat ini memerintahkan umat beriman untuk mentaati Allah, mentaati Rasul dan ulil amri diantara mereka. Sebenarnya ayat tersebut tidak ada relevansinya dengan kewajiban mendirikan khilafah dalam Islam. Makna hakiki  ayat tersebut, menurut Ali Abd al-Raziq adalah keharusan bagi kaum muslimin untuk memiliki sekelompok orang yang dapat dijadikan rujukan bagi persoalan-persoalan yang mereka hadapi. [35]
Makna inilah yang menurutnya lebih luas dan lebih umum yang dapat diperolah dari ayat tersebut daripada memaknakan khilafah yang sama sekali tak ada relevansinya. Oleh karena itu, ia menolak penafsiran yang dilakukan sebagian ulama terhadap ayat tersebut diatas dengan penafsiran amir, khalifah, hakim, panglima, dan ulama untuk kata ulil amri. Penafsiran seperti ini, menurut Ali Abd al-Raziq, memberikan pemahaman untuk tidak keluar dari pemahaman struktur politik masa lampau.[36]
Demikian pula dengan hadist. Dalam hadist Nabi juga tidak terdapat ungkapan yang mendukung mewajibkan pembentukan khilafah. Hadis-hadis Nabi yang dijadikan rujukan oleh para ulama dalam teori imamah ini, ternyata hanya menyebut tentang imamah, baiat, jamaah dan seterusnya. Semisal hadis-hadis yang berbunyi:
الأئمة من قري
 من مات و ليس في عنقه بيعة فقد مات ميتة جاهيلية
 من بايع امام فاعطاه
Hadis-hadis tersebut diatas, dalam pandangan sebagian besar para ulama merupakan justifikasi terhadap wajibnya pembentukan khilafah demi tegaknya syariat Islam dan keadilan yang merata di kalangan umat Islam khususnya, dan umat manusia umumnya.
Ali Abd al-Raziq mengakui bahwa hadis-hadis sebelumnya semuanya shahih. Ia juga mengakui bahwa istilah-istilah yang terkandung dalam hadis-hadis sebelumnya seperti “imam”, “ulil amr” dan sejenisnya apabila diberlakukan menurut term syara’, mempunyai arti “para pemegang Khalifah”, dan seterusnya. Namun ternyata, katanya, tidak ditemukan satu argumentasipun yang mendukung teori para ulama yang menyatakan bahwa kekhilafahan itu merupakan akidah syari’ah dan salah satu dari hukum agama.[37]
Ali  Abd al-Raziq juga berpendapat bahwa dipakainya gelar khalifah pada Abu Bakar akan memunculkan karisma, kekuatan dan pesona. Jadi, tidak heran jika Abu Bakar memilih gelar itu untuk dirinya sendiri sebagai pemimpin baru, karena itu ia harus memiliki kewibawaan dan kekuatan untuk mempertahankan kekuasaan dan wilayahnya dari perpecahan dan pertentangan.[38]
Dengan kekuatan dan kekuasaannya itu, Abu Bakar memerangi orang-orang yang murtad dan enggan membayar zakat. Semua tindakannya ini, menurut Ali, dianggap oleh sebagian umat Islam sebagai tindakan agama. Hal ini berlaku pula bagi tiga khalifah penggantinya dan khalifah-khaliafah sesudahnya, seperti khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbas. Abu Ja’far al-Mansur dari Bani Abbas, umpamanya, mengatasnamakan gerakannya untuk menjatuhkan dinasti Bani Umayyah sebagai gerakan agama. Bahkan setelah menjadi penguasa umat Islam, ia menyatakan dirinya sebagai “bayang-bayang Tuhan dan wakilnya di muka bumi” (zillullah filal-ardh).[39]
Ali Abd al-Raziq, menolak anggapan tersebut diatas. Dalam perjalanan sejarah, ternyata sebagian besar penguasa Islam menggunakan gelar khalifah hanya sebagai alat legitimasi untuk mempertahankan kekuasaannya. Mereka berhasil menyebarkan konsep bahwa mematuhi khalifah berarti mematuhi Allah dan melawan khalifah sama dengan melawan Allah. Kenyataan sejarah pulalah yang menunjukkan bahwa banyak khalifah yang berlaku sewenang-wenang, kejam, saling menumpahkan darah dan tidak islami. Bahkan, diantara mereka ada yang tega membunuh saudaranya sendiri untuk menduduki jabatan “sakral” tersebut.
Untuk memperkuat argumennya terhadap penolakan khilafah, ia mengemukakan sepenjang sejarah sistem khilafah merupakan sistem paling buruk. Beberapa hal yang ia kemukakan untuk membuktikan keburukan tersebut:
a.    Khalifah senantiasa menghadapi penentang-penentang (kaum separatis)
Menurut Raziq, para khalifah sejak khalifah pertama sampai khalifah yang terakhir selalu menghadapi penentangan-penentangan dari orang-orang yang tidak mengakuinya. Dalam sejarah Islam yang menggunakan sistem khilafah, hampir tidak pernah sunyi dari kaum separatis. Menurutnya, walaupun kondisi seperti itu sering terjadi  pada kerajaan-kerajaan dalam setiap generasi umat manusia, dalam kenyataannya umat Islam dengan sistem khalifah paling banyak mengalaminya.[40]
Kenyataan-kenyataan sejarah yang tidak dapat diingkari kebenarannya, sejak zaman Khulafaur al-Rasyidin, terutama masa daulat Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, penguasa selalu berhadapan dengan penentang-penentang dalam jumlah yang kecil dan besar, baik yang bersuara secara terang-terangan maupun secara terselubung.[41]

b.    Khilafah ditegakkan dengan tekanan dan paksaan
Menurut Raziq, kenyataan menunjukkan bahwa kekhalifahan hanyalah ditegakkan atas tekanan dan paksaan. Seorang khalifah tidak mungkin dapat menduduki jabatan ini kecuali melalui ujung tombak, mata pedang, pasukan besar dan pengerahan kekuatan besar-besaran.[42]Singgahsana para khalifah dibangun atas tumpukan tengkorak manusia, dan dipertahankan dengan menunggangi pundak mereka. Tidak ada satu kekuasaan pun yang tidak diperoleh melalui cara ini, dan tidak ada kehormatan apapun yang bisa diperoleh selain dengan cara mengorbankan rakyat.

c.    Para khalifah selalu berlaku sewenang-wenang
Menurut Raziq, kalau didunia ini ada sesuatu yang demikian mendorong orang untuk berlaku sewenang-wenang, zalim dan begitu mudah melakukan permusuhan, maka itu tidak lain adalah khalifah.[43] Dalam hal ini Raziq memberikan contoh:
1)   Yazid bin Muawiyah, yang menghalalkan tumpahnya darah Husain bin Fatimah bin Rasulullah Saw, dan menyerbu kota Madinah serta memporak-perandakannya.
2)   Abdul Malik ibn Marwan yang menghancurkan Ka’bah.
3)   Abu al-Abbas Abdullah bin Muhammad bin Ali ibn Abdillah ibn al-Abbas menjadi seorang yang haus darah.
4)   Dinasti Abasiyah yang saling membantai dan saling memberontak.
5)   Demikian pula Bani Sabaktakin.
6)   Salih Najmdin al-Ayyubi menyerbu saudaranya sendiri al-Adil Abu Bakr ibn al-Kamil, memakzulkannya dan kemudian memenjarakan saudaranya itu.
7)   Daulat Mamalik yang tidak pernah sunyi dari suksesi dan bunuh-membunuh.
8)   Demikian pula yang terjadi pada daulat Bani Usman.[44]

Kenyataan sejarah memang membenarkan apa yang dikemukakan oleh Raziq. Penekanan dan pemaksaan senantiasa melingkungi kekhalifahan, seperti khalifah-khalifah Bani Umayyah sering mengadakan tekanan-tekanan terhadap pihak-pihak tertentu yang juga adalah kaum muslimin. Demikian pula halnya khalifah –khalifah Abbasiyah yang berkuasa lebih dari lima abad, sering menekan dan mengejar-ngejar keturunan Umayyah untuk dimusnahkan dan menindas semua pihak yang dianggap membahayakan kekhalifahan.
Tekanan juga terjadi terhadap pihak-pihak non muslimin, dalam bentuk penaklukan-penaklukan terhadap wilayah-wilayah mereka. Tekanan-tekanan itu umumnya menggunakan kekuatan senjata, yang pada akhirnya membawa korban yang tak terhitung jumlahnya.
Karena fakta-fakta inilah mungkin Abd Raziq mengatakan bahwa singgahsana para khalifah dibangun atas tumpukan tengkorak manusia, dan dipertahankan dengan menunggangi pundak mereka.[45]
Demikian kondisi yang melingkupi kekhalifahan. Ini dijadikan kemudian oleh Abd Raziq sebagai argumentasi untuk menjelekkan sistem tersebut. Tentu saja khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali yang diangkat melalui musyawarah dan pemilihan yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok khalifah yang memperoleh kedudukannya melalui tajamnya mata pedang dan ujung tombak.
Diantara khalifah memang ada yang berlaku sewenang-wenang dan zalim. Yazid ibn Mu’awiyah, misalnya, dikenal sebagai orang yang zalim, tidak mengenal keadilan, sombong, boros, dan suka minum minuman keras. Demikian pula beberapa orang khalifah lainnya, yang dalam sejarah kekhalifahan ditandai dengan banyaknya pemberontakan-pemberontakan yang terjadi. Semua itu, memang kebenaran sejarah, terutama pada masa khalifah-khalifah Umayyah dan Abbasiyah.[46]
Memang apa yang dikemukakan Raziq adalah fakta yang tidak dapat dibantah. Tetapi Raziq lupa menjelaskan adanya khalifah yang adil, yang memimpin dengan baik, sesuai tuntunan Al-qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Khalifah Abu Bakar membawa masyarakatnya ke dalam suasana  yang damai dan berkeadilan. Di sisi lain, tidak semua khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah yang jelek seperti yang digambarkan Raziq. Walid ibn Abd. Al-Malik (Khalifah Bani Umayyah yangkelima), memerintah tahun 86-96 H (705-715 M), termasyhur sebagai kahlifah yang pengasih dan penyayang, yang senantiasa memerhatikan hal masyarakat, terutama rakyat yang melarat dan terlantar. Demikian pula Umar ibn. Abd. Aziz (khalifah Umayyah yang ketujuh), memerintah tahun 99-101 H (717-719 M), terkanal sebagai ahli agama yang saleh, zuhud, wara’, dan adil. Ia memperbaiki hubungan antara keluarga Umayyah dan turunan lainnya, serta berlaku toleren terhadap pemberontak[47]sebagaimana dilakukan pendahulu-pendahulunya. Pada umumnya, perhatian sebesar-besarnya tertuju kepada penyebaran agama  kepada raja-raja Hindu dan Cina ke dalam Islam.
Al-Mahdi (khalifah Abasiyah yang ketiga), memerintah tahun 158-169 H (775-785 M), juga terkenal sebagai orang yang lemah lembut, pemurah, dermawan serta memberikan belanja tetap bagi orang-orang yang tidak kuat berusaha. Demikian pula Harun al-Rasyid (khalifah kelima), memerintah tahun 173-193 H (789-809 M), adalah khalifah yang istananya dipenuhi olah para ulama, hakim, pujangga, dan pengarang. Ia dikenal sebagai orang yang mulia, budiman, disegani, dihormati dan dicintai serta ditaati oleh rakyat, dari yang tinggi sampai yang rendah. Ia juga merapatkan keluarga Abasiyah dengan keluarga Alawiyin.
Mereka-meraka inilah yang mungkin diantara para khalifah yang kurang mendapat perhatian Raziq dalam kajiannya. Sehingga ia menarik kesimpulan tentang kesewenang-wenangan para khalifah secara keseluruhan. Dari kenyataan-kenyatan ini, mungkinkah mereka dikelompokkan dalam golongan khalifah yang berlaku sewenang-wenang.[48]
Karena itu, pendapat Raziq mendapat tantangan  dari berbagai kalangan umat Islam baik pribadi maupun lembaga. Termasuklah diantaranya Rasyid Ridha. Ia mengatakan bahwa pendapat ini sangat berbahaya dan dapat melemahkan umat Islam. Pendapat ini erat hubungnnya dengan kolonialisme. Serbuan politik ilmiah terhadap Islam, menurut Ridha, jauh lebih berbahaya dan lebih keji daripada Perang Salib yang mengatasnamakan agama.[49]
Kritikan lain datang dari Dhiyauddin al-Rais. Ia menulis buku sanggahannya yang berjudul  Al-Islam wa al-Khilafah fi al-‘ashr al-Hadits (Islam dan khilafah pada Masa Modern. Ia memandang bahwa pendapat Raziq ini tidak terlepas dari latar belakang keluarganya yang pro-Inggris. Ada kesamaan antara Raziq dan tujuan politik Inggris yang hendak menghancurkan persatuan dan kesatuan umat Islam.

2.   Risalah Bukan Pemerintahan, Agama Bukan Negara[50]
Dalam bagian kedua buku Ali Abd al-Raziq, diuraikan tentang pemerintahan, dan akhirnya kesimpulan bahwa risalah kenabian itu bukan pemerintahan dan bahwa agama itu bukan negara. Dan dalam bagian ketiga dan terakhir diuraikan tentang khilafah atau lembaga khilafah dan pemerintahan dalam sejarah. Dalam hal ini, Ali Abd al-Raziq berusaha membedakan[51] antara mana yang negara Arab dan mana yang agama serta yang mana yang politik. Dalam rangka mencari jawaban tentang ada atau tidaknya penetapan tentang sistem pemerintahan dalam Islam inilah, Ali Abd al-Raziq menulis buku ini (Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm).[52]
Ali Abd Al-Raziq menyuguhkan perdebatan yang cukup sengit dalam bukunya yang tipis tersebut. Sebagai seorang hakim syari’ah (Hukum Islam) dan seorang dosen di Universitas Al-Azhar Kairo, Ali Abd al-Raziq berpendapat bahwa Islam tidak mengkhususkan bentuk pemerintahan tertentu, karenanya Islam membolehkan kaum Muslim untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis. Alur pikir ini dipakai untuk mengkritisi klaim kekhalifahan Raja Mesir terhadap akibat hancurnya kekhalifahan Utsmani tahun1924.[53]
Namun argumen tersebut tersusun dalam term-term umum, dengan demikian menentang pandangan holistik tentang Islam terdiri dari baik spiritualis maupun politik. Ali Abd al-Raziq dipecat sebagai hakim dan dosen, bahkan dikritik kaum modernis Islam, seperti Rasyid Ridha.[54] Diluar wilayah Mesir, bukunya telah menimbulkan perdebatan yang keras di seluruh dunia Islam dan memunculkan perdebatan sampai kini. Bagian-bagian lain dari buku Ali Abd al-Raziq telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dari bahasa Perancis pada tahun 1982.[55]

a.    Keunggulan Risalah
Ternyata risalah Nabi dikhususkan dalam berbagai hal, yang tidak pernah dialami oleh Nabi-nabi sebelumnya karena dia diutus dengan misi dakwah. Tuhan memilihnya untuk menyatukan umat manusia dan tuhan menakdirkan bahwa dia mengantarkan keseluruhannya, dan dia yang menyempurnakan dakwah agama agar kelemah lembutan ditegakkan dan menghindari konflik dan agar semua agama dapat mencapai Tuhan. Risalah ini memberinya pembawaan kesempurnaan yang ekstrem yang seharusnya diupayakan manusia untuk mencapainya. Bentuk kekuasaan sosiologis yang merupakan batas akhir dari apa yang ditakdirkan bagi Rasul-rasul terpilih dan cukuplah dukungan Tuhan yang akan sesuai dengan dakwah agung dan umum ini.[56]
Pada tataran ini, Allah berfirman:
Ÿ...4 šc%x.ur ã@ôÒsù «!$# y7øn=tã $VJŠÏàtã ÇÊÊÌÈ  
Artinya: “...dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (QS. an-Nisaa, 4:113)
y7¯RÎ*sù... $oYÏ^ãŠôãr'Î/ ....(
Artinya: “...kamu berada dalam penglihatan Kami” ....

Dan disebutkan didalam hadis: “Demi Allah. Allah tidak akan pernah menghalang-halangimu[57]”. “Karena—tanpa bersikap arogan—sebagai anak cucu Adam, saya agungkan Tuhan saya”[58]
Bagi Ali Abd al-Raziq, wahyu yang disampaikan kepada Nabi adalah sebuah kekuasaan yang lebih besar dan lebih penting daripada kekuasaan pemimpin duniawi, tetapi kekuasaan ini mempunyai watak yang sama sekali berbeda. Menurut teori ini, berhadapan dengan rezim yang dikenal, misalnya monarki, terdapat sebuah kekuasaan yang mempunyai kekuasaan yang mempunyai sifat istimewa, yakni kekuasaan para Nabi yang tidak dapat dibandingkan dengan rezim kemanusiaan apapun.
Untuk tujuan ini, otoritas Nabi Saw adalah karena adanya Risalah, suatu otoritas umum; perintah-perintahnya kepada umat Islam dipatuhi; dan pemerintahannya bersifat menyeluruh. Tidak ada orang yang memegang pemerintahan dapat mencapai bahkan melampaui otoritas Nabi Saw., dan memiliki bentuk kepemimpinan atau otoritas yang imaginer dibandingkan Rasulullah Saw. Bahkan pemerintahan umat Islam setelahnya.[59]
Jika demikian alasannya, hal itu memungkinkan bagi otoritas seorang Rasul melampaui umatnya untuk memiliki tingkatan-tingkatan, bahwa Nabi Muhammad juga seharusnya memiliki hak untuk menguji otoritas tertinggi dari semua utusan-utusan Allah, memerintahkan kepatuhan yang tertinggi, kemudian memiliki kekuatan nubuwwah dan otoritas Risalah, serta kejujuran yang telah ditakdirkan Allah untuk ditegakkan dalam dakwah terhadap perbuatan yang salah dan menjauhinya. Otoritas tersebut berasal dari surga, dari Allah, yang wahyu-wahyu-Nya disampaikan oleh para malaikat. Kekuatan suci ini dikhususkan bagi orang-orang yang beriman yang ditetapkan Rasul-Nya, tidak berpegang dalam makna kerajaan ataupun menyerupai kekuatan para raja, dan (otoritas) para sultan. Inilah panggilan kepemimpinan yang benar disisi Allah dan penyampaian risalahnya bukan kepemimpinan yang bersifat kerajaan. Ini merupakan sebuah risalah dan agama, dan merupakan pemerintahan kenabian, bukan kesultanan.[60]
Dengan demikian kita telah menyaksikan adanya kesultanan-kesultanan yang agak luar biasa yang dihadapkan kepada mereka yang hendak mengenyampingkan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, pemegang kekuasaan politik (political sovereign) dan sekaligus pemerintahan politik (political goverment).[61]
Tinggal satu pendapat lagi yang harus dinilai oleh kita. Pendapat ini mengatakan bahwa Muhammad hanyalah seorang utusan Allah. Beliau mengabdikan dirinya semata-mata untuk menyiarkan agama dari arti murni tanpa adanya kecenderungan apapun yang menjurus pada kekuasaan yang bersifat sementara (temporal). Sebab beliau tidak pernah mengemukakan pendapat atas himbauan atau perintah dengan mengatasnamakan suatu pemerintahan tertentu. [62] Pada dasarnya  tugas kenabian (risalah) itu sendiri menuntut Nabi untuk mendapatkan kelebihan dikalangan bangsanya. Suatu bentuk kekuasaan terhadap rakyatnya dalam artian bukannya raja atau mendirikan kerajaan.
Karena Nabi ini bertugas menyampaikan risalah agama, agar orang mau mengikutinya, dia harus memiliki kesempurnaan fisik sampai batas tertentu dan tidak boleh memiliki cacat fisik dan benar-benar sehat. Jika tidak dia akan dijauhi orang. Nabi juga harus memiliki wibawa agar mudah bergaul dan melakukan interaksi, maka dia harus memiliki kesempurnaan spiritual.[63]

b.    Reaksi dari Ulama
Ulama mulai menyadari bahwa persoalan ini sangat mengganjal karena sudah menkjadi kotroversi politik, dan mereka tidak dapat mendiamkan begitu saja. Namun berkat apa yang dikatakan Ali Abd al-Raziq didalam bukunya, sebagian ulama juga mulai menyadari bahaya dibalik kepatuhan membabi buta kepada kehendak sang raja. Oleh karena itu, kalangan yang berkepedulian tinggi menempuh cara yang relatif hati-hati dalam mengkritisi buku itu. Hal ini mereka maksudkan untuk menghindari munculnya reaksi yang emosional yang dapat memperkeruh isu doktrinal itu. Penilaian dari Majelis Ulama menitik-beratkan pada tujuh persoalan doktrinal khusus, dan mereka menghindari kritikan yang sifatnya umum yang bisa dianggap sebagai bernuansa politis atau filosofis.
Menurut Majelis Ulama, tujuh butir kesalahan yang dibuat oleh Ali Abd al-Raziq adalah sebagai berikut[64]:
a.    Menjadikan Syariat Islam hanya sebagai hukum agama yang tidak ada kaitannya dengan pengaturan atau penatalaksanaan urusan duniawi.
b.    Berpendapat bahwa jihad Rasulullah ditujukan untuk meraih kekuasaan setingkat raja dan bukan untuk menyiarkan agama ke seluruh dunia.
c.    Menyatakan bahwa lembaga pemerintahan dimasa Rasulullah tidak jelas, rancu, kacau, tidak komplit, dan membingungkan (bagi mereka yang mencoba memahaminya).
d.   Berpendapat bahwa tanggungjawab (Muhammad) Rasulullah hanya menyebarluaskan syariat tanpa menjadi penguasa atau pemerintah.
e.    Menganggap sepi Ijma’ (kesepakatan) para Sahabat Rasul yang menetapkan bahwa umat musti menunjuk  seseorang untuk mengelola urusan keagamaan dan keduniaan, dan mengakui adanya kewajiban untuk mengangkat seorang imam.[65]
f.     Mengingkari bahwa quda (kehakiman) merupakan fungsi syariah.
g.    Berpendapat bahwa pemerintahan Abu Bakar dan Khulafa Rashidin merupakan pemerintahan sekuler.
Karena butir-butir kesalahan ini, Raziq terpaksa membela diri, dan dia berupaya meminimalisir kesan menyesatkan yang telah ia buat. Dia tidak dituduh secara langsung menolak bahw kaum muslimin bukanlah komunitas politik, dan dalam tanggapannya dia hanya menyatakan kemungkinan adanya jama’ah yang membentuk negara dan mengangkat khilafah sebagai penguasanya. Dia mengatakan apa yang dituduhkan kepadanya bukanlah yang sesungguhnya dia katakan, ataupun jika sudah pernah dia katakan, dia juga telah menyertakan penjelasannya.[66]
Raziq berupaya memperlihatkan sikap yang tidak berat sebelah, baik terhadap pendapat peran politik Rasul  maupun tentang peran religius khulafa al-Rasyidin. Namun tanggapan yang diaperoleh tidak dapat meredakan tuduhan negatif kepada dirinya. Dia mengangkat pandangan umum  yang antara dirinya dan para ulama sama-sama sepakat, karena itu ia kembali megatakan: “kami tidak meragukan bahwa Islam merupakan kesatuan religi; bahwa kaum muslimin merupakan jamak tunggal, bahwa Rasulullah menyerukan persatuan yang berhasil mewujudkan sebelum wafat dan pembawa beliau adalah pemimpin dari kesatuan religi ini, pemimpin tunggal yang merangkap sebagai mudabbir (administrator) dan yang ucapannya selalu dijunjung tinggi.[67]

3.   Nabi dan Raja
Ali Abd al-Raziq melihat adanya tantangan yang sulit dihadapi orang-orang yang sekaligus merupakan seorang Raja dan pendiri Negara yang politis. Setelah melakukan penelitian lantas orang berkesimpulan bahwa Nabi sekaligus Raja dan Rasul atau hanya Rasul saja, hal itu hampir tidak dapat dicap sebagai bertentangan dengan melihat pendapat-pendapat yang berkembang dikalangan Kaum Muslimin. Hal itu lebih banyak berkaitan dengan penelitian ilmiah daripada dengan penelitian agama. [68]
Sudah jelas bahwa kerasulan merupakan sesuatu yang berbeda dengan kebesaran (royalty); sebab di dalammya tidak ada kaitan instrinsik antara dua gagasan. Kerasulan adalah sejenis martabat, sedangkan kebesaran adalah martabat lain lagi. Betapa banyaknya raja di dunia ini yang bukan Nabi-nabi ataupun Rasul-rasul. Betapa banyaknya pula Nabi-nabi yang diangkat oleh Tuhan tanpa menyandang kedudukan sebagai Raja. Kenyataannya, banyak diantara Nabi yang dikenal adalah semata-mata Nabi.[69]
Kedudukan sebagai Nabi menuntut untuk dimilikinya kedudukan sosial yang jelas terhormat dikalangan bangsanya. Sebagaimana didalam Hadist: “  Allah tidak pernah mengangkat seorang Nabi (dikalangan mereka) yang tidak dihormati oleh rakyatnya dan yang tidak berwibawa dikalangan keluarganya.”.
Lebih dari itu kedudukan sebagai Nabi juga menuntut untuk dimiliki kekuasaan yang memungkinkan melihat bahwa perintah-perintahnya dilaksanakan dan ajaran-ajarannya diikuti, sebab Allah tidak menghendaki tugas kenabian itu mengalami kegagalan. Dia tidak mengangkat seorang Nabi sebagai pembawa kebenaran tanpa terlebih dahulu menetapkan bahwa ajaran-ajarannya akan berhasil, kekal dan terpadu dalam kenyataan hidup dan kehidupannya.[70] Sebagaimana di dalam Surat al- Nisa ayat 64 yang berbunyi:

!$tBur $uZù=yör& `ÏB @Aqߧ žwÎ) tí$sÜãÏ9 ÂcøŒÎ*Î/ «!$# 4 öqs9ur öNßg¯Rr& ŒÎ) (#þqßJn=¤ß öNßg|¡àÿRr& x8râä!$y_ (#rãxÿøótGó$$sù ©!$# txÿøótGó$#ur ÞOßgs9 ãAqߧ9$# (#rßy`uqs9 ©!$# $\/#§qs? $VJŠÏm§ ÇÏÍÈ  

Artinya: “Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya[71]datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Menurut Ali Abd al-Raziq, Nabi Muhammad Saw adalah seorang Rasul Tuhan yang hanya membawa misi risalah saja[72]. Nabi Saw tidak pernah memerintah dengan mengatasnamakan suatu pemerintahan tertentu. Nabi hanya menyampaikan dakwah agama tanpa ada kecenderungan untuk membentuk kekuasaan politik atau pemerintahan tertentu. Risalah bukanlah kerajaan; keduanya adalah dua hal yang berbeda dan masing-masing mempunyai kedudukan sendiri. Ia mencontohkan Nabi Isa as., yang mengajarkan kepada umatnya “Berikan hak Kaisar pada Kaisar dan hak Tuhan pada Tuhan.”[73]
Nabi Muhammad memang mempuyai hukûmah, tetapi ia bukanlah seorang mâlik (raja). Menurutnya, malik yang berkuasa pada waktu itu umumnya kejam dan zalim terhadap rakyat. Oleh karena itu, Nabi tidak dapat disamakan dengan penguasa politik apapun. Mengatakan Nabi sebagai malik berarti merendahkan dan merusak citra beliau. Dengan demikian, Ali Abd al-Raziq berkesimpulan bahwa sistem pemerintahan tidak terdapat dalam Islam. Jadi, Islam tidak menentukan tentang pembentukan negara dan tidak menetapkan suatu corak atau model khusus dari suatu pemerintahan. Nabi hanya bertugas sebagai pembawa risalah, dan tugas kerasulannya ini tidak tercakup di dalam tugas pembentukan negara.
Ali Abd a-Raziq juga menyandarkan pendapatnya pada ayat-ayat Al-Qur’an. Ada 11 ayat Al-Qur’an yang dikutip Raziq untuk mendukung pandangannya.[74] Menurutnya, ayat-ayat Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa Nabi Saw tidak mempunyai kekuasaan politik. Firman-firman Allah tersebut saling menopang antara satu dengan lainnya dan menyatakan bahwa tugas risalah yang dibawa Nabi Saw tidak mencakup pendirian kekuasaan yang bersifat duniawi. Diantara ayat-ayat yang dikutipnya adalah sebagai berikut.
`¨B ÆìÏÜムtAqߧ9$# ôs)sù tí$sÛr& ©!$# ( `tBur 4¯<uqs? !$yJsù y7»oYù=yör& öNÎgøŠn=tæ $ZàŠÏÿym ÇÑÉÈ  
Artinya: “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”.[75](QS. an-Nisaa, 4:80)

öqs9ur uä!$x© y7/u z`tBUy `tB Îû ÇÚöF{$# öNßg=à2 $·èŠÏHsd 4 |MRr'sùr& çn̍õ3è? }¨$¨Z9$# 4Ó®Lym (#qçRqä3tƒ šúüÏZÏB÷sãB ÇÒÒÈ  

Artinya: “ Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?”.(QS. Yunus, 10: 99)

ö@è% $pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# ôs% ãNà2uä!%y` ,ysø9$# `ÏB öNä3În/§ ( Ç`yJsù 3ytF÷d$# $yJ¯RÎ*sù ÏtGöku ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur ¨@|Ê $yJ¯RÎ*sù @ÅÒtƒ $pköŽn=tæ ( !$tBur O$tRr& Nä3øn=tæ 9@Å2uqÎ/ ÇÊÉÑÈ  

Artinya: Katakanlah: "Hai manusia, Sesungguhnya teIah datang kepadamu kebenaran (Al Quran) dari Tuhanmu, sebab itu Barangsiapa yang mendapat petunjuk Maka Sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. dan Barangsiapa yang sesat, Maka Sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu".(QS. Yunus, 10: 108)

$¨B n?tã ÉAqߧ9$# žwÎ) à÷»n=t6ø9$# 3 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ $tB tbrßö7è? $tBur tbqßJçFõ3s? ÇÒÒÈ  
Artinya: “Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.(QS. al-Maidah, 5: 99)

Dari sederatan ayat-ayat yang dikemukakan diatas, Ali Abd al-Raziq menyatakan bahwa Al-Qur’an dengan tegas menolak tugas Nabi Saw sebagai pemelihara, pelindung, penjaga, pemaksa, dan pengatur, karena tugas-tugas tersebut di atas adalah dan kekuasaan raja. Beliau tidak memiliki hak untuk memaksa orang beriman. Dengan demikian, Nabi tidak mempunyai kedudukan sebagai raja (penguasa). Merekalah yang memiliki kekuasaan tidak terbatas untuk memaksa dan mengatur masyarakat.[76]
Adalah suatu kenyataan sejarah, ketika Nabi berada di Madinah, telah terbentuk suatu masyarakat Islam.[77] Orang-orang arab yang sebelumnya tercerai berai dan bermusuhan menjadi bersaudara dan bersatu dalam satu kekuatan yang diikat oleh kesamaan keyakinan akidah dan agama. Mereka menjadi bangsa yang kuat dibawah satu pimpinan yaitu Nabi Saw sendiri. Sampai di sini, logika Ali Abd al-Raziq masih sejalan dengan pendapat umat Islam pada umumnya. Namun kemudian Ali menyatakan bahwa kepemimpinan Nabi terhadap bangsa Arab bukan dalam satu ikatan politik. Menurutnya, Nabi tidak pernah ikut campur dalam persoalan politik bangsa Arab. Nabi tidak pernah merombak sistem pemerintahan, sistem administrasi, maupun sistem peradilan yang ada. Semua diserahkan Nabi pada masyarakatnya. Untuk menguatkan argumennya Ali mengutip hadis, “ Antum a’lamu bi umûri dunyâakum”.[78]
Sebagai kelanjutan dari penolakannya terhadap tugas Nabi sebagai pemimpin politik, ia menolak lembaga khilafah. Oleh karena itu, semasa hidupnya ia tidak mempunyai kekuasaan politik dan tidak mendirikan negara “Islam”, maka Nabi pun tidak menunjuk siapa yang akan menggantikan kedudukannya setelah wafat. Adalah suatu hal yang mustahil menurut Ali, jika Nabi selaku pemerintahan Islam tidak menunjuk orang yang akan menggantikan beliau sebagia khalifah. Tak mungkin beliau melupakan hal yang penting ini.[79]
                Dari sini pernyataan kemudian mengarahkan secara khusus kepada masalah kekhalifahan bukanlah Rezim Agama, bahwa lembaga ini tidak disyaratkan dalam Islam, dan bahwa terlepas dari niat para khilafah tidaklah mungkin ada pengganti, atau khilafah yang menggantikan kedudukan Rasulullah, karena Rasul tidak pernah menjadi Raja dan tidak pernah berusaha mendirikan sebuah negara atau pemerintahan, dia adalah pembawa pesan yang diutus Allah, dan dia juga bukan pemimpin politik.[80]
            Dengan bersikukuh bahwa Rasulullah bukanlah pemimpin politik, dan bahwa khalifah bukanlah penerus Rasulullah, Ali Abd al-Raziq mengingkari adanya peralihan legitimas politik dari Rasulullah kepada Khilafah. Tampaknya dia berkeyakinan bahwa komunitas beragama yang memiliki dimensi politik. Kegigihannya dalam mempertahankan pandapat bahwa Muhammad bukanlah pemimpin politik tentunya nyaris tidak bisa diterima, baik dari sudut pandang histori maupun tradisional.[81]
Yang terpenting untuk kita ketahui adalah apakah keistimewaan Muhammad di kalangan bangsanya sebelum menjadi Nabi adalah juga keistimewaan seorang Nabi ataukah keistimewaan seorang raja, atau dengan perkataan lain apakah pelaksanaan dari kekuasaan suatu pemerintahan politik ataukah pelaksanaan dari keistimewaan keagamaan, dan apakah ikatan yang dipimpin Nabi itu merupakan suatu ikatan pemerintahan dan suatu negara, ataukah suatu kesatuan keagamaan yang tidak bersifat politik.[82]
Dengan jelas Al-Qur’an mengakui pendapat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad tidak ada sangkut pautnya dengan kekuatan politik. Ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain kuat menguatkan dalam pernyataannya itu bahwa tugas Nabi Muhammad dari Ilahi tidak melampaui batas-batas risalah (kerasulan) yang sama sekali tidak dikenal dalam gagasan kekuaasaan sementara itu. Firman Allah dalam surat al-An’am ayat 66-67 yang berbunyi:
z>¤x.ur ¾ÏmÎ/ y7ãBöqs% uqèdur ,ysø9$# 4 @è% àMó¡©9 Nä3øn=tæ 9@Ï.uqÎ/ ÇÏÏÈ   Èe@ä3Ïj9 :*t7tR @s)tGó¡B 4 t$ôqyur tbqßJn=÷ès? ÇÏÐÈ  

Artinya: (66)dan kaummu mendustakannya (azab)[83] Padahal azab itu benar adanya. Katakanlah: "Aku ini bukanlah orang yang diserahi mengurus urusanmu". (67) untuk Setiap berita (yang dibawa oleh rasul-rasul) ada (waktu) terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui.

Dengan demikian jelaslah bahwa bukan hanya Al-Qur’an yang melarang kita untuk mempercayai bahwa Nabi Muhammad di samping mengajarkan agama juga terlibat dalam tugas mempropagandakan pendapat untuk membentuk suatu pemerintahan politik. Sunnah juga melarang adanya kepercayaan serupa. Itulah alasan dan kepentingan serta hakikat dari risalah Nabi yang sejalan dengan Al-Qur’an dan sunnah yang menentang pendapat ini.[84]
            Hampir pada akhir bagian kedua buku Raziq, dia menyimpulkan uraiannya[85]:
Nabi Muhammad Saw adalah semata-mata seorang utusan Allahuntuk mendakwahkan agama murni tanpa maksud untuk mendirikan negara. Nabi tidak mempunyai kekuasaan duniawi, negara ataupun pemerintahan. Nabi tidak mendirikan kerajaan dalam arti politik atau sesuatu yang mirip dengan kerajaan. Dia adalah Nabi semata seperti halnya para Nabi sebelumnya, dia bukan raja, bukan pendiri negara dan tidak pula mengajak umat untuk mendirikan kerajaan duniawi.

Kesimpulan diatas merupakan inti paham politik Abd Raziq.

D.  KOMENTAR DAN PENILAIAN TERHADAP KARYA ABD RAZIQ
Munawir Sjadzali mencatat beberapa kelemahan argumentasi Raziq[86]:
Pertama, ia mengakui bahwa Nabi Saw melakukan berbagai tugas sebagaimana layaknya seorang kepala negara, namun ia tidak mengakui hal ini sebagai pemerintahan, betapapun sederhananya. Pada bagian lain ia mengatakan bahwa negara yang dipimpin Abu Bakar Ash-Shiddiq merupakan negara baru, padahal cara pengelolaan negara baru itu tidak banyak berbeda dengan pemerintahan Nabi Saw sebelumnya. Di sini ada ketidak konsistenan dalam pendapat Raziq.
Kedua, Raziq menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi semata, sama halnya dengan nabi-nabi sebelumnya. Sementara pada bagian lain ia menyatakan bahwa ada juga nabi yang berkedudukan sebagai penguasa atau raja sekaligus. Ini juga logika yang tidak konsisten dengan pendapat Raziq.
Ketiga, Raziq mengutip ayat-ayat Al-Qur’an untuk menyatakan bahwa Nabi tidak berhak untuk memaksakan ajarannya. Namun menurut Islam, sekali orang yang dengan kebebasannya sendiri telah menerima Islam secara sukarela, maka berlakulah atasnya syariat Islam yang sebagian pelaksanaannya memerlukan power penguasa agar berjalan efektif. Sejarah juga memperlihatkan bahwa Nabi Saw sendiri memimpin perang untuk mempertahankan Islam dari serangan musuh.
Keempat, ia juga mengajukan dalil ucapan Nabi Isa as. Kepada umatnya. Ini tidak dapat dijadikan alasan, karena ucapan tersebut ditujukan kepada umat Nabi Isa, bukan umat Nabi Muhammad.[87]
Kelima, Raziq mengemukakan hadis Antum a’lamu bi umûr  dunyâkum[88] untuk menunjukkan keterisahan antara agama dan negara. Padahal hadis tersebut berkenaan dengan Nasihat Nabi Saw tentang teknik pembudidayaan kurma, tetapi ternyata pohon tersebut tidak berbuah.[89] Jadi hadis ini tidak relevan untuk dijadikan pendapatnya.

E.     Kesimpulan
Terlepas dari kelemahan-kelemahan argumentasi Raziq, gagasan yang dikembangkannya tentang khilafah merupakan kajian yang sangat menarik dan menantang. Studi historis yang dilakukannya untuk menolak lembaga khilafah merupakan ajakan kepada umat Islam agar tidak terlalu mengistimewakan pandangan dan pendapat masa lalu, apalagi menjadikan sebagai bagian dari ajaran agama. Umat Islam harus bersikap terbuka dan realistis menghadapi kenyataan yang terjadi di dunia Islam dan mencari terobosan baru yang lebih dapat diterima untuk konteks kekinian.
Terlepas pula dari pandangan para pengkritiknya, secara substansial ada beberapa aspek dari pemikiran Raziq yang perlu mendapat tempat untuk dielaborasi dan direkonstruksi untuk kepentingan studi politik Islam kontemporer. Sekularisasi memang berbahaya bagi eksistensi sebuah agama, terlebih Islam. Tetapi, sisi sekularisasi yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa sekularisasi menjamin sebuah kekuasaan yang tegak di atas kepentingan agama apapun, dan pada titik inilah pemikiran Raziq menemukan relevansinya dalam konteks kehidupan politik yang pluralistik.
Ali Abd al-Raziq bukan tidak memiliki perasaan persatuan dan bukan seperti yang dituduhkan sebagian orang bahwa ia ingin menerapkan gagasan sekularisme Barat terhadap Islam. Sebagai seorang ‘alim al-Azhar yang luas pengetahuan agamanya dan sebagai seorang intelektual yang pernah mengecap pendidikan Barat serta berpengalaman melihat negara-negara lain selain Mesir, al-Raziq tentunya memiliki wawasan dan pertimbangan yang matang hingga ia mengeluarkan ijtihad kontroversial itu.
Pengetahuan sejarahnya yang mendalam membuatnya merasa sangat yakin bahwa sistem politik yang berlaku sepanjang sejarah Islam bukan cuma satu. Ia sangat bergantung dan dipengaruhi oleh penguasa yang memegang pemerintahan. Apa yang disebut khilafah oleh setiap penguasa memiliki makna dan implikasi politisnya masing-masing yang berbeda antara satu khalifah dengan lainnya.
Perbedaan ini hanya bisa dipahami bahwa penerapan sistem pemerintahan yang disebut khilafah itu berasal dari ijtihad dan pendapat yang terbaik dari para pemegang kekuasaan dalam sistem tersebut. Karenanya, sistem itu tidak bisa disebut sebagai sistem “islami” dengan pengertian bahwa model politik dan segala implikasinya yang diterapkan dalam kelembagaan khilafah berasal dari Islam. Bahkan pernyataan seperti ini, menurut Abd al-Al-Raziq, bisa sangat berbahaya. Khususnya jika sebuah khilafah berjalan tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar Islam, seperti despotisme dan kesewenang-wenangan yang terjadi pada sebagian pemerintahan dinasti Umayyah, Abbasiyyah, dan Utsmaniyyah. [90]
Karenanya, pernyataan bahwa Islam tidak memiliki sistem politik tertentu bagi kaum Muslim, dalam pandangan al-Raziq, menjadi positif, karena hal itu berarti menyelamatkan Islam dari pengalaman-pengalaman politik negatif yang terjadi sepanjang sejarah Islam. Pendapat itu sekaligus menempatkan Islam sebagai agama agung yang memberikan ruang bagi manusia untuk berkreasi bagi urusan dunia mereka. al-Raziq mengkritik sebagian ulama yang mengagung-agungkan khalifah sebagai penguasa tunggal yang memiliki kekuasaan mutlak, suci, dan dianggap sebagai wakil Tuhan, dan karenanya, menolak khalifah berarti menolak kesucian dan perintah Tuhan. Padahal, perintah Islam sesungguhnya, pemimpin haruslah dipilih dari rakyat (ummah), dibai’at oleh rakyat dan diturunkan oleh rakyat. Tak ada seorang pun yang mengatakan bahwa pemimpin ditunjuk oleh ayat atau hadits Nabi. Jadi, pemberian kepercayaan dan pengagung-agungan secara berlebihan kepada khalifah seperti yang dilakukan oleh kaum Muslim masa silam sama sekali bukanlah sikap yang berasal dari ajaran murni Islam. Tapi berasal dari tradisi Romawi, Persia, atau dinasti-dinasti besar sebelum Islam.


























* Dodi Irwandi, mahasiswa di UIN SUSKA RIAU sedang kuliah S1 pada jurusan Pendidikan Agama Islam.
**Jusneli, mahasiswi di UIN SUSKA RIAU sedang kuliah S1 pada jurusan Pendidikan Agama Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Binder, Leonard. 2001. Islam Liberal Kritik Terhadap Ideologi-Ideologi Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cooper, John dkk,. 2000. Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd. Jakarta: Erlangga.
Davis, Eric “Abd al-Raziq,’Ali” dalam John Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World (New York: Oxford University Press, 1995), Volume 1,
Donohue, John J. dan John L. Esposito. 1995. Islam dan Pembaharuan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Esposito, John L., (ed). 2002. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan.
Filal,i ansary. 2009. Abdou “Ali ‘Abd Al-Raziq: Kaum Muslim dan Penafsiran-penafsiran Modern”, dalam Pembaharuan Islam: Dari Mana dan Hendak ke Mana?. Bandung: Mizan.
Gibb, H.A.R. 1996. Aliran-Aliran Moderen dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hourani, Albert. 2004. Pemikiran Liberal Dunia Arab. Bandung: Mizan.
Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. 2010. Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Jameelah, Maryam. 1982. Islam dan Modernisme (terj. A. Jauri dan Syafiq A. Mughni). Surabaya: Usaha Nasional.
Kurzman, Charles (ed.). 2011.Wacana Islam Liberal. Jakarta: Paramanina.
Nasution,  Harun. 1975. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Sjadzali Munawir. 1993. Islam dan Pembaharuan. Jakarta: UI-Press.
______________. 1993. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI-Press.
Syalabi, Ahmad. 1992. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. Jakarta: Pustaka al-Husna.


http://lelakiberuntung.blogspot .com
http://blogspot.com/ilc (islamic law community) stain pekalongan ’06: ali abd roziq.




[1] http://kata-mutiara-puisi-cinta.blogspot.com
[2] http://lelakiberuntung.blogspot .com
[3] Abdou Filali ansary, “Ali ‘Abd Al-Raziq: Kaum Muslim dan Penafsiran-penafsiran Modern”, dalam Pembaharuan Islam: Dari Mana dan Hendak ke Mana? (Bandung: Mizan, 2009), hlm. 112.
[4] http://blogspot.com/ilc (islamic law community) stain pekalongan ’06: ali abd roziq.
[5] Abdou Filali ansary, “Ali ‘Abd Al-Raziq: Kaum Muslim dan Penafsiran-penafsiran Modern”, dalam Pembaharuan Islam: Dari Mana dan Hendak ke Mana?,...hlm. 112.
[6] Abdou Filali ansary, “Ali ‘Abd Al-Raziq: Kaum Muslim dan Penafsiran-penafsiran Modern”, dalam Pembaharuan Islam: Dari Mana dan Hendak ke Mana?,...hlm. 112-113.

[7] Abdou Filali ansary, “Ali ‘Abd Al-Raziq: Kaum Muslim dan Penafsiran-penafsiran Modern”, dalam Pembaharuan Islam: Dari Mana dan Hendak ke Mana?,...hlm. 113.
[8] John L. Esposito, (ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 6.
[9] Partai ini mempunyai hubungan initim dengan penjajah Inggris dan dibentuk sebagai tandingan hizb –al-wathani (partai kebangsaan).
[10] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 114
[11] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,...hlm. 114.
[12] Ia mengajar di Al-Azhar pada tahun 1912 dalam mata kuliah retorika. Baru pada pertengahan 1912 ia berangkat ke Inggris.
[13] Maryam  Jameelah,  Islam dan Modernisme (terj. A. Jauri dan Syafiq A. Mughni), (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 202.
[14]  Di saat dia bertugas sebagai hakim, ia juga giat mengadakan penelitian. Penelitian yang digelutinya ketika itu adalah masalah khilafah. Buah dari penelitiannya itu dituangkannya menjadi sebuah buku yang berjudul al-islam wa ushul al-hukm.  Disamping itu, dia juga mengajar mata kuliah sejarah Islam dan sastra arab.
[16] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 115.
[17] Yaitu penelitiannya tentang khilafah ketika dia menjadi hakim syari’ah di al-Azhar.
[20] John L. Esposito, (ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern,... hlm. 6.
[21] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975. hlm. 85.
[22] H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Moderen dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 91.
[23] Munawir Sjadzali, Islam dan Pembaharuan, (Jakarta: UI-Press, 1993), hlm. 85.
[24] yaitu sebuah karya yang membahas kajian sejarah konsensus dalam hukum Islam.
[25] John L. Esposito, (ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern,... hlm. 6.
[26] Albert Hourani, Pemikiran Liberal Dunia Arab, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 295.
[27] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI-Press, 1993), hlm. 139-140.
[28] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 116.
[29] Fardu(wajib) terbagi dua; fardu ain yaitu apabila tidak dikerjakan berdosa, dan fardu kifayah yaitu apabila telah dikerjakan sebagian orang maka gugurlah kewajiban atas yang lainnya.
[30] Leonard Binder, Islam Liberal Kritik Terhadap Ideologi-Ideologi Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 205.
[31] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 115.
[32] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara,... hlm. 141.
[33] Ialah: tokoh-tokoh sahabat dan Para cendekiawan di antara mereka.
[34] Menurut mufassirin yang lain Maksudnya Ialah: kalau suatu berita tentang keamanan dan ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan ulil Amri, tentulah Rasul dan ulil amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istimbat) dari berita itu.
[35] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 117.
[36] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 117.
[37] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 118.
[38] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 121.
[39] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 121.
[40] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 122. 
[41] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 122. 
[42] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 123. 
[43] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 123. 
[44] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 124.
[45] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 124.
[46] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 125.
[47]Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), hlm. 110.
[48] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 126.
[49] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 126.
[50] Charles Kurzman,(ed.), Wacana Islam Liberal, (Jakarta: Paramanina, 2011), hlm. 3
[51] John Cooper, dkk, Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd, (Jakarta: Erlangga, 2000), hlm. 147.
[52] Albert Hourani, Pemikiran Liberal Dunia Arab,...  hlm. 297.
[53] Albert Hourani, Arabic Thought in The Liberal Age (London: Oxford University Press, 1962), hlm. 184-92.
[54] Charles Kurzman,(ed.), Wacana Islam Liberal, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001), hlm. 3.
[55] Eric Davis, “Abd al-Raziq,’Ali” dalam John Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World (New York: Oxford University Press, 1995), Volume 1, hlm. 5 dan 7.
[56] Charles Kurzman,(ed.), Wacana Islam Liberal),... hlm 6.
[57]  Diriwayatkan oleh Aisyah [istri Nabi Saw., kira-kira 614-678] pada permulaan datangnya wahyu. Riwayat Bukhari & Muslim.
[58] Diberitahukan Anas [Ibn Malik, seorang sahabat Nabi Saw, 710-796], diriwayatkan oleh [Abu Isa Muhammad] al-Tirmizi [pengumpul hadist, wafat 892].
[59] Charles Kurzman,(ed.), Wacana Islam Liberal),... hlm 4.
[60] Perwalian para Rasul terhadap umatnya merupakan perwalian spiritual yang berasal dari keimanan, dan kepatuhan hati yang disertai amal shaleh. Di sisi lain, perwalian dari penguasa merupakan perwalian yang bersifat material. Ia bergantung kepada tubuh-tubuh yang lemah sama sekali tidak berhubungan dengan hati. Sedangkan yang terdahulu merupakan perwalian yang tertuju menuju pada Allah, dan yang berikutnya untuk mengatur persoalan-persoalan kehidupan di muka bumi. Sementara yang pertama merupakan agama, dan yang kemudian adalah dunia. Yang pertama merupakan kepemimpinan religius, dan yang kedua merupakankepemimpinan politik—dan terdapat banyak perbedaan antara agama dan politik.
[61] Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 41.
[62] Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 41-43.
[63] Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 42-43.
[64] Leonard Binder, Islam Liberal Kritik Terhadap Ideologi-Ideologi Pembangunan,... hlm. 212-213.
[65] Abdul Raziq menanggapi bahwa tidaklah benar jika ia mengingkari ijma para Sahabat yang menetapkan perlunya seorang penguasa menangani urusan umat. Namun dia juga tidak membantah tuduhan bahwa dirinya menolak ijma yang menetapkan pengangkatan seorang imam. Dia kemudian mengutip pernyataannya sendiri: “Umat yang terorganisir—apa pun keyakinan, ras, warna kulit, dan bahasa mereka—perlu memiliki pemerintahan yang menangani kepentingan mereka...... Sesungguhnya yang demikian itulah yang dimaksudkan oleh Abu Bakar sewaktu dia mengatakan dalam khotbahnya, bahwa agama (din) membutuhkan seorang pemimpin”.
[66] Leonard Binder, Islam Liberal Kritik Terhadap Ideologi-Ideologi Pembangunan,...hlm. 214
[67] Leonard Binder, Islam Liberal Kritik Terhadap Ideologi-Ideologi Pembangunan,...hlm. 214.
[68] Demikian pulalah keadaan bangsa arab pada saat Nabi wafat. Mereka membentuk ikatan umum diantaranya sesama pemeluk Islam, dengan beberapa pengecualian, diantara negara-negara yang sama sekali berbeda inilah kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi. Nabi berpulang ke rahmatullah tanpa menunjuk siapapun untuk menggantikannya dan juga tidak memberikan petunjuk siapa yang bisa menggantikannya. Lihat, Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, hlm. 49.
[69] Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam dan Pembaharuan,...hlm. 40.
[70] Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam dan Pembaharuan,...hlm. 43.
[71] Ialah: berhakim kepada selain Nabi Muhammad s.a.w.
[72] Albert Hourani, Pemikiran Liberal Dunia Arab, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 302.
[73] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 118.
[74] Ayat-ayat tersebut antara lain An-Nisaa ayat 80, Al-An’an ayat 67-67, Al-Mâ’idah ayat 59 dan Yunus ayat 99.
[75] Rasul tidak bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan mereka dan tidak menjamin agar mereka tidak berbuat kesalahan.
[76] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 120.
[77] Ketika Nabi hijrah kemadinah, kaum muhajirin dan anshor dipersaudarakan.
[78] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 120.
[79] Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam dan Pembaharuan,...hlm. 50.
[80] Leonard Binder, Islam Liberal Kritik Terhadap Ideologi-Ideologi Pembangunan,... hlm. 210.
[81] Leonard Binder, Islam Liberal Kritik Terhadap Ideologi-Ideologi Pembangunan,... hlm. 195-196.
[82] Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam dan Pembaharuan,...hlm. 45.
[83] Sebahagian mufassirin mengatakan bahwa yang didustakan itu ialah Al-Quran.
[84] John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan,... hlm. 45-46.
[85] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara,... hlm. 143.
[86] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara,... hlm. 144-145.
[87] Dimana umat Nabi Isa beserta Nabi Isa berada dibawah pimpinan raja.
[88] Artinya: “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”.
[89] Memang dalam bidang teknik, murni agama tidak hendak mencampuri. Tetapi kiranya Islam juga ikut mengatur kehidupan keduniaan antarsesama Muslim dan sesama makhluk dimana terdapat aspek moral dan etika.