A. Pendahuluan
Nisa Ahmed
Faruqi (1979:3) sejarah dalam bahasa
Arab, tarikh atau history (Inggris), adalah cabang ilmu pengetahuan yang berkenaan
dengan kronologi berbagai peristiwa. Definisi serupa diungkapkan oleh Abd.
Ar-Rahman As-Sakhawi bahwa sejarah adalah seni yang berkaitan dengan
serangkaian anekdot yang berbentuk kronoli peristiwa.[1] Ibn Khaldun,
seorang pemikir besar sosial-Islam, mengingatkan kepada setiap sejarawan bahwa
untuk melihat kembali secara objektif, seorang sejarawan harus bisa mengenal
dengan jelas berbagai struktur kebudayaan dan sosial manusia yang akan
ditelitinya, termasuk berbagai pemahaman metodologi kearah ini. Tanpa mengenal
dan mengerti dari dekat objek yang akan dikaji berikut metodologinya, mustahil
ia bisa menjelaskan fenomena sejarah secara objektif.Tanpa metodologi yang
jelas maka, alur penjelasan secara rasional atau rekonstruksi,
sistematika-kronologis dan analisisnya-akan sulit dimengerti. [2]
Untuk bisa
menjelaskan fenomena sejarah secara rasional dan objektif, dengan sejarah yang
merupakan pelajaran “masa lalu” yang bisa memberikan informasi atau bahan-bahan
masa lalu tentang manusia masa kini. Akar-akar apa yang mengarahkan mereka
berperilaku demikian? Potensi apa yang menyebabkan corak mereka berbeda? Semua
pertanyaan metodologis ini akan terjawab dengan sendirinya apabila sejarawan
memahami dua persoalan besar dalam studinya; yakni fakta dan bagaimana cara
memahami serta mengolahnya dengan benar dalam bentuk laporan.[3]
Dalam
makalah yang berjudul “Pendekatan Historis dalam Pengkajian Islam”, yang
dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigm dalam suatu
ilmu untuk memahami Islam, yang dalam hal ini melalui pendekatan historis.
B. Pembahasan
1.
Pengertian Pendekatan Historis
Adapun yang
dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang
terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami
agama.[4]
Defenisi serupa diungkapkan oleh Abd. Ar-Rahman Sakhawi bahwa sejarah adalah
seni yang berkaitan dengan serangkaian anekdot yang berbentuk kronologi
peristiwa. Secara teknis formula, Nisar Ahmad Faruqi menjelaskan formula yang
digunakan di kalangan sarjana Barat bahwa sejarah terdiri atas (man + time + space = history). Sejarawan
Louis Gottschalk dalam bukunya Understanding
History:a Primer of Historical Method, menjelaskan pengertian sejarah.
Sejarah dalam bahasa Inggris history berasal
dari kata benda Yunani istoria yang
berarti ilmu. Dalam penggunaannya
oleh filosof Yunani, Aristoteles, istoria
berarti suatu penjelasan sistematis mengenai seperangkat gejala alam, baik
susunan kronologi yang merupakan factor atau tidak di dalam bahasa Inggris
sebutan natural history. Akan tetapi,
dalam perkembangan zaman, kata latin yang sama artinya scientia, lebih sering dipergunakan untuk menyebutkan penjelasan sistematis
nonkronologis mengenai gejala alam;sedangkan kata istoria biasanya dipergunakan bagi penjelasan mengenai
gejala-gejala (terutama hal ihwal manusia) dalam urutan kronologis. Adapun
menurut defenisi yang umum, kata history kini
berarti masa lampau umat manusia.[5]
Sejarawan Indonesia, seperti Sartono Kartodirdjo (1993:14-15) dalam bukunya Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah, membagi pengertian sejarah pada pengertian subjektif dan objektif.[6]
Sejarah
dalam arti subjektif adalah suatu konstruk, yakni bangunan yang disusun
penulis sebagai suatu uraian atau cerita. Uraian atau cerita itu merupakan
suatu kesatuan atau unit yang mencakup fakta-fakta terangkaikan untuk
menggambarkan suatu gejala sejarah, baik proses maupun struktur.
Sejarah dalam arti objektif adalah
menunjuk kejadian atau peristiwa itu sendiri, yakni proses sejarah dalam
aktualitasnya. Kejadian yang sekali terjadi tidak dapat diulang atau terulang
lagi. Orang yang memiliki kesempatan mengalami suatu kejadian pun sebenarnya
hanya dapat mengamati sebagian dari totalitas kejadian itu. Oleh karena itu,
tidak salah ada yang mengatakan sejarah
berulang, termasuk pada pengertian subjektif. Adapun kita perlu belajar
sejarah, termasuk pengertian objektif. historis adalah asal usul, silsilah, kisah, riwayat, dan peristiwa.[7]
Historis merupakan suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan
memperhatkan unsur tempat, waktu, objek, dan latar belakang peristiwa tersebut.[8]
Dalam hubungan ini Jalaluddin Rakhmat
mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma
realitas agama yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan
kerangka paradigmanya. Oleh karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian
agama itu, penelitian ilmu social, penelitian legalistik, atau penelitian
filosofis.[9]
Pendekatan kesejarahan ini sangat
penting dan dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun
dari situasi yang konkret dan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.
Melalui pendekatan sejarah ini seorang diajak untuk memasuki keadaan yang
sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Seorang yang ingin
memahami Alquran atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya Alquran.[10]
Zakiah Drajat (1996:1) mengemukakan bahwa, Pandangan historis adalah suatu
pandangan umum tentang pandangan metode pengajaran secara suksesif sejak dari
dulu sampai sekarang dan akan di iringi secara sepintas lalu mengenai
problematik metodologi itu.[11]
2. Kriteria Pendekatan Historis dalam pengkajian Islam
Sebelum membahas lebih lanjut
mengkaji, memahami Islam melalui pendekatan sejarah (history, tarikh), kita
ketahui terlebih dahulu apa itu Islam. Dari segi bahasa (etimologi) Islam
berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima
yang mengandung arti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk
aslama yang berarti berserah diri
masuk kedalam kedamaian. Juga berarti memelihara dalam keadaan sentosa,
menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat.[12] Ajaran Islam mengandung berbagai
arti, yaitu ;
1. Menurut
dan menyerahkan. Orang yang memeluk Islam adalah orang yang menyerahkan diri
kepada Allah dan menurut segala ajaran yang telah ditentukan-Nya.
2. Sejahtera, tidak tercela, tidak cacat, selamat, tenteram,
dan bahagia. Ini berarti bahwa setiap muslim adalah orang sejahtera, tenteram,
selamat, dan bahagia, baik dunia maupun di akhirat dengan tuntutan ajaran
Rabbul ‘Alamin.
3. Mengaku,
menyerahkan, dan menyelamatkan. Ini berarti bahwa orang yang memeluk Islam itu
adalah orang yang mengaku dengan sadar adanya Allah SWT, kemudian ia
menyerahkan diri pada kekuasaan-Nya dengan menurut segala titah dan firman-Nya
sehingga ia selamat di dunia dan di akhirat.
4. Damai
dan sejahtera. Artinya bahwa Islam adalah agama yang membawa kepada kedamaian
dan perdamaian. Membawa kesejahteraan dunia akhirat. Orang yang memeluk Islam
adalah orang yang menganut ajaran perdamaian dan mencerminkan jiwa perdamaian
dalam segala tingkah laku dan perbuatan.[13]
Mircae
Eliade and Joseph M. Kitagawa (12-13) berpendapat bahwa, Pendekatan sejarah
merupakan metode dan instrument penting bagi penelitian agama. Kajian sejarah
(historis) di zaman modern, sepertinya halnya di Abad Pertengahan, menekankan
penilaian yang kritis atas sumber-sumber sejarah para sejarawan. Akan tetapi,
pada abad kesembilan belas, penelitian agama melalui pendekatan sejarah
menekankan agama ummat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, sejarah
agamapun secara khusus mempunyai perhatian
(concern) terhadap rekonstruksi yang kritis atas aspek-aspek esensial
berbagai agama timur. Perkembangan studi agama dengan pendekatan sejarah telah
menarik minat pengkajian agama melalui perbandingan agama. Persoalan yang
ditimbulkan oleh pendekatan sejarah adalah perbedaan antara fakta dengan nilai (fact and value). Akan tetapi, akhirnya
sejarah harus berbicara atas dasar fakta. Jika demikian, pendekatan sejarah
memerlukan metode maupun tujuan yang factual yang hanya mungkin dilakukan
dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial.[14]
Joachim Wach
memberi contoh bahwa penelitian agama dengan pendekatan sejarah seringkali
menjadi berfaidah jika, dilakukan dengan cara meminjam metode maupun prosedur
dalam lapangan lain. Studi Vinogradoff
dibidang hukum dan institusi-institusi, misalnya mempunyai nilai yang besar.
Dia menggambarkan metode tersebut sebagai berikut: “Ketika kita menempatkan
fakta-fakta dan doktrin-doktrin dalam tatanan ideologis, tak sedikitpun kita
bermaksud mengingkari atau menghilangkan kondisi-kondisi geografis, etnologis,
politik dan cultural yang memang ikut menentukan perjalanan peristiwa-peristiwa
actual.” Hal ini secar definitive menuntut kita untuk melakukan sistematikasi
dan studi fenomenologis terhadap kondisi sosio-religius. Vinogradoff juga
menekankan pentingnya penyempurnaan pandangan yang statis dalm bentuk “typical theory” (tentang jurisprudensi) yang dinamik. “It is not easy” (tidaklah mudah)
demikian menurut Vinogradoff. Tujuan esensialnya adalah untuk mengenal
nilai-nilai pada tipe-tipe historis sebagai dasar suatu teori hukum. Kita tidak
akan berhasil menjelaskan dan menganalisis tipe-tipe kelompok keagamaan yang
memiliki motivasi untuk berkelompok dalam kelompok keagamaan tanpa materi yang
disajikan oleh sejarah agama kepada kita.[15]
Menurut
Sumadi Suryabrata penelitian historis (historical
research) ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a)
Bergantung
kepada daya yang diobservasi oleh peneliti itu sendiri.
b)
Harus
tertib, ketat, sistematik, tuntas, dan buka sekadar mengoleksi informasi yang
tidak layak, tidak reliable, dan berat sebelah.
c)
Bergantung
pada data primer dan sekunder.
d)
Harus
melakukan kritik eksternal dan internal.[16]
3. Tujuan Pendekatan Historis dalam
Pengkajian Islam
Menurut M.Yatimin Abdullah, tujuan pendekatan
historis atau sejarah dalam pengkajian Islam adalah untuk merekonstruksi masa
lampau secara sistematis dan objektif dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi,
memverifikasi, serta mensistematisasikan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan
memperoleh kesimpulan yang kuat.[17]
Beliau menambahkan bahwa dengan berbagai pendekatan manusia dalam memahami
agama dapat melalui pendekatan paradigma ini. Dengan pendekatan ini semua orang
dapat sampai pada agama. Disini dapat dilihat bahwa agama bukan hanya monopoli
kalangan teolog dan normalis, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai
dengan pendekatan dan kesanggupannya. Oleh karena itu, agama hanya merupakan
hidayah Allah dan merupakan suatu kewajiban manusia sebagai fitrah yang
diberikan Allah kepadanya.[18]
Pemahaman terhadap ilmu sejarah menjadi penting bagi kalangan intelektual hukum
(Islam) untuk melihat mata rantai antara satu kejadian dan kejadian lain
sehingga tidak terjadi distorsi dalam menjustifikasi sebuah peristiwa hukum.
Begitu pula, kajian sejarah menjadi alat ukur bagi kalangan intelektual dari
berbagai disiplin ilmu dalam memilih dan memilah masalah.[19]
4. Nilai-Nilai Universal Pendekatan Historis
Islam memandang ummat manusia secara
utuh (syaamilah) dari berbagai
aspeknya yang meliputi jasmiah (fisik),
nafsih (psikologis), aqliah (rasio), dan ijtimaiah (masyarakat) sehingga orang muslim tidak kelaparan dari
aspek jasmiah, tidak kegelapan dari
aspek aqliah, tidak ada keguncangan
dari aspek nafsiah. Jika terjadi pada
manusia yang menganut suatu ideologi, mementingkan suatu aspek, dan melalaikan
aspek lainnya pasti terjadi ketimpangan pada manusia itu sendiri.[20]
Dalam
hubungan ini, Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama
yang dalam hal ini Islam berdasarkan pendekatan sejarah (history) ketika ia mempelajari al-Quran sampai pada kesimpulan
bahwa pada dasarnya kandungan al-Quran itu terbagi menjadi dua bagian; (a) berisi konsep-konsep; (b) berisi kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama dikenal banyak konsep, baik yang bersifat abstrak maupun
konkret. Konsep tentang Allah, konsep tentang malaikat, tentang akhirat,
fenomena konkret dan diamati (obsess
uagle). Misalnya konsep orang zalim (zhalimun),
takabur (mustakbirun), dan koruptor.
Melalui pendekatan sejarah ini diajarkan untuk memasuki keadaan yang sebenarnya
berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa, maka seseorang tidak dapat memahami
agama keluar dari konteks historis, karena pemahaman demikian itu menyesatkan
orang yang memahaminya.[21]
KESIMPULAN
Pendekatan
adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu
pengetahuan yang digunakan untuk memahami agama. Karena untuk dapat memahami
Islam diperlukan metodologi, karena Islam bukan hanya sebagai suatu agama
melainkan merupakan suatu disiplin ilmu dan ilmu membutuhan metodologi.
Metodologi untuk mengkaji Islam melalui beberapa pendekatan,
diantaranya;pendekatan historis, pendekatan sosiologi, pendekatan teologis
normative, pendekatan social budaya, pendekatan antropologi, pendekatan
psikologi. Sedangkan historis dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia berarti asal usul, silsilah, kisah,
riwayat, dan peristiwa. Sedangkan Historis menurut Abuddin Nata adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatkan
unsur tempat, waktu, objek, dan latar belakang peristiwa tersebut. Jalaluddin
Rakhmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai
paradigm realitas agama yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai
dengan kerangka paradigmanya. Oleh karena itu, tidak ada persoalan apakah
penelitian agama itu, penelitian ilmu social, penelitian legalistik, atau
penelitian filosofis.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Metodologi Studi
Islam, Cet.
4, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung, Pustaka
Setia, 2008
Ibn Khaldun, Muqaddimah,
Terjemah Ahmadi Thoha,
Pustaka Firdaus, 1986
Juhaya
S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu
dalam Islam dan Penerapannya di
Indonesia, Jakarta, Teraju
Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, Surabaya:Kartika Surabaya, 1989
Muhammadiyah
Ja’far, Beberapa Aspek Pendidikan Islam, Surabaya, Al-Ikhlas,
1981
M.Yatimin Abdullah, Studi Islam
Kontemporer,Jakarta:Sinar Grafika Offset, 2006
|
[7] Kamisa, Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya:Kartika Surabaya, 1989, hlm.481
[11] Ibid. hlm.60
[14] Juhaya S.
Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam
Islam dan Penerapannya di Indonesia, Jakarta, Teraju, 2002, hlm.47-48
[19] Dedi
Supriyadi, Kata Pengantar Nurol Aen (Guru Besar Hukum Islam Fakultas Syariah
dan Hukum),Op.cit, hlm.5
[21] M.
Yatimin Abdullah, Op.Cit, hlm. 59-60