Jumat, 14 Desember 2012

Pendekatan Historis : Yanda Dinata


A. Pendahuluan

Nisa Ahmed Faruqi (1979:3)  sejarah dalam bahasa Arab, tarikh atau  history (Inggris), adalah cabang ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan kronologi berbagai peristiwa. Definisi serupa diungkapkan oleh Abd. Ar-Rahman As-Sakhawi bahwa sejarah adalah seni yang berkaitan dengan serangkaian anekdot yang berbentuk kronoli peristiwa.[1] Ibn Khaldun, seorang pemikir besar sosial-Islam, mengingatkan kepada setiap sejarawan bahwa untuk melihat kembali secara objektif, seorang sejarawan harus bisa mengenal dengan jelas berbagai struktur kebudayaan dan sosial manusia yang akan ditelitinya, termasuk berbagai pemahaman metodologi kearah ini. Tanpa mengenal dan mengerti dari dekat objek yang akan dikaji berikut metodologinya, mustahil ia bisa menjelaskan fenomena sejarah secara objektif.Tanpa metodologi yang jelas maka, alur penjelasan secara rasional atau rekonstruksi, sistematika-kronologis dan analisisnya-akan sulit dimengerti. [2]
Untuk bisa menjelaskan fenomena sejarah secara rasional dan objektif, dengan sejarah yang merupakan pelajaran “masa lalu” yang bisa memberikan informasi atau bahan-bahan masa lalu tentang manusia masa kini. Akar-akar apa yang mengarahkan mereka berperilaku demikian? Potensi apa yang menyebabkan corak mereka berbeda? Semua pertanyaan metodologis ini akan terjawab dengan sendirinya apabila sejarawan memahami dua persoalan besar dalam studinya; yakni fakta dan bagaimana cara memahami serta mengolahnya dengan benar dalam bentuk laporan.[3]
Dalam makalah yang berjudul “Pendekatan Historis dalam Pengkajian Islam”, yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigm dalam suatu ilmu untuk memahami Islam, yang dalam hal ini melalui pendekatan historis.

B. Pembahasan
1.    Pengertian Pendekatan Historis

            Adapun yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.[4] Defenisi serupa diungkapkan oleh Abd. Ar-Rahman Sakhawi bahwa sejarah adalah seni yang berkaitan dengan serangkaian anekdot yang berbentuk kronologi peristiwa. Secara teknis formula, Nisar Ahmad Faruqi menjelaskan formula yang digunakan di kalangan sarjana Barat bahwa sejarah terdiri atas (man + time + space = history). Sejarawan Louis Gottschalk dalam bukunya Understanding History:a Primer of Historical Method, menjelaskan pengertian sejarah. Sejarah dalam bahasa Inggris history berasal dari kata benda Yunani istoria yang berarti ilmu. Dalam penggunaannya oleh filosof Yunani, Aristoteles, istoria berarti suatu penjelasan sistematis mengenai seperangkat gejala alam, baik susunan kronologi yang merupakan factor atau tidak di dalam bahasa Inggris sebutan natural history. Akan tetapi, dalam perkembangan zaman, kata latin yang sama artinya scientia, lebih sering dipergunakan untuk menyebutkan penjelasan sistematis nonkronologis mengenai gejala alam;sedangkan kata istoria biasanya dipergunakan bagi penjelasan mengenai gejala-gejala (terutama hal ihwal manusia) dalam urutan kronologis. Adapun menurut defenisi yang umum, kata history kini berarti masa lampau umat manusia.[5] Sejarawan Indonesia, seperti Sartono Kartodirdjo (1993:14-15) dalam bukunya Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, membagi pengertian sejarah pada pengertian subjektif dan objektif.[6]
          Sejarah dalam arti subjektif adalah suatu konstruk, yakni bangunan yang disusun penulis sebagai suatu uraian atau cerita. Uraian atau cerita itu merupakan suatu kesatuan atau unit yang mencakup fakta-fakta terangkaikan untuk menggambarkan suatu gejala sejarah, baik proses maupun struktur.
          Sejarah dalam arti objektif adalah menunjuk kejadian atau peristiwa itu sendiri, yakni proses sejarah dalam aktualitasnya. Kejadian yang sekali terjadi tidak dapat diulang atau terulang lagi. Orang yang memiliki kesempatan mengalami suatu kejadian pun sebenarnya hanya dapat mengamati sebagian dari totalitas kejadian itu. Oleh karena itu, tidak salah ada yang mengatakan sejarah berulang, termasuk pada pengertian subjektif. Adapun kita perlu belajar sejarah, termasuk pengertian objektif.  historis adalah asal usul, silsilah, kisah, riwayat, dan peristiwa.[7] Historis merupakan suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatkan unsur tempat, waktu, objek, dan latar belakang peristiwa tersebut.[8]
          Dalam hubungan ini Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma realitas agama yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Oleh karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu, penelitian ilmu social, penelitian legalistik, atau penelitian filosofis.[9] Pendekatan kesejarahan ini sangat penting dan dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dari situasi yang konkret dan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Melalui pendekatan sejarah ini seorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Seorang yang ingin memahami Alquran atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya Alquran.[10] Zakiah Drajat (1996:1) mengemukakan bahwa, Pandangan historis adalah suatu pandangan umum tentang pandangan metode pengajaran secara suksesif sejak dari dulu sampai sekarang dan akan di iringi secara sepintas lalu mengenai problematik metodologi itu.[11]


2. Kriteria Pendekatan Historis dalam pengkajian Islam
Sebelum membahas lebih lanjut mengkaji, memahami Islam melalui pendekatan sejarah (history, tarikh), kita ketahui terlebih dahulu apa itu Islam. Dari segi bahasa (etimologi) Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk kedalam kedamaian. Juga berarti memelihara dalam keadaan sentosa, menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat.[12] Ajaran Islam mengandung berbagai arti, yaitu ;
1.    Menurut dan menyerahkan. Orang yang memeluk Islam adalah orang yang menyerahkan diri kepada Allah dan menurut segala ajaran yang telah ditentukan-Nya.
2.     Sejahtera, tidak tercela, tidak cacat, selamat, tenteram, dan bahagia. Ini berarti bahwa setiap muslim adalah orang sejahtera, tenteram, selamat, dan bahagia, baik dunia maupun di akhirat dengan tuntutan ajaran Rabbul ‘Alamin.
3.    Mengaku, menyerahkan, dan menyelamatkan. Ini berarti bahwa orang yang memeluk Islam itu adalah orang yang mengaku dengan sadar adanya Allah SWT, kemudian ia menyerahkan diri pada kekuasaan-Nya dengan menurut segala titah dan firman-Nya sehingga ia selamat di dunia dan di akhirat.
4.    Damai dan sejahtera. Artinya bahwa Islam adalah agama yang membawa kepada kedamaian dan perdamaian. Membawa kesejahteraan dunia akhirat. Orang yang memeluk Islam adalah orang yang menganut ajaran perdamaian dan mencerminkan jiwa perdamaian dalam segala tingkah laku dan perbuatan.[13] 
Mircae Eliade and Joseph M. Kitagawa (12-13) berpendapat bahwa, Pendekatan sejarah merupakan metode dan instrument penting bagi penelitian agama. Kajian sejarah (historis) di zaman modern, sepertinya halnya di Abad Pertengahan, menekankan penilaian yang kritis atas sumber-sumber sejarah para sejarawan. Akan tetapi, pada abad kesembilan belas, penelitian agama melalui pendekatan sejarah menekankan agama ummat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, sejarah agamapun secara khusus mempunyai perhatian (concern) terhadap rekonstruksi yang kritis atas aspek-aspek esensial berbagai agama timur. Perkembangan studi agama dengan pendekatan sejarah telah menarik minat pengkajian agama melalui perbandingan agama. Persoalan yang ditimbulkan oleh pendekatan sejarah adalah perbedaan antara fakta dengan nilai (fact and value). Akan tetapi, akhirnya sejarah harus berbicara atas dasar fakta. Jika demikian, pendekatan sejarah memerlukan metode maupun tujuan yang factual yang hanya mungkin dilakukan dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial.[14]
          Joachim Wach memberi contoh bahwa penelitian agama dengan pendekatan sejarah seringkali menjadi berfaidah jika, dilakukan dengan cara meminjam metode maupun prosedur dalam lapangan lain. Studi Vinogradoff dibidang hukum dan institusi-institusi, misalnya mempunyai nilai yang besar. Dia menggambarkan metode tersebut sebagai berikut: “Ketika kita menempatkan fakta-fakta dan doktrin-doktrin dalam tatanan ideologis, tak sedikitpun kita bermaksud mengingkari atau menghilangkan kondisi-kondisi geografis, etnologis, politik dan cultural yang memang ikut menentukan perjalanan peristiwa-peristiwa actual.” Hal ini secar definitive menuntut kita untuk melakukan sistematikasi dan studi fenomenologis terhadap kondisi sosio-religius. Vinogradoff juga menekankan pentingnya penyempurnaan pandangan yang statis dalm bentuk “typical theory” (tentang jurisprudensi) yang dinamik. “It is not easy” (tidaklah mudah) demikian menurut Vinogradoff. Tujuan esensialnya adalah untuk mengenal nilai-nilai pada tipe-tipe historis sebagai dasar suatu teori hukum. Kita tidak akan berhasil menjelaskan dan menganalisis tipe-tipe kelompok keagamaan yang memiliki motivasi untuk berkelompok dalam kelompok keagamaan tanpa materi yang disajikan oleh sejarah agama kepada kita.[15]
          Menurut Sumadi Suryabrata penelitian historis (historical research) ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a)    Bergantung kepada daya yang diobservasi oleh peneliti itu sendiri.
b)   Harus tertib, ketat, sistematik, tuntas, dan buka sekadar mengoleksi informasi yang tidak layak, tidak reliable, dan berat sebelah.
c)    Bergantung pada data primer dan sekunder.
d)   Harus melakukan kritik eksternal dan internal.[16]
3. Tujuan  Pendekatan Historis dalam Pengkajian Islam
          Menurut  M.Yatimin Abdullah, tujuan pendekatan historis atau sejarah dalam pengkajian Islam adalah untuk merekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi, serta mensistematisasikan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat.[17] Beliau menambahkan bahwa dengan berbagai pendekatan manusia dalam memahami agama dapat melalui pendekatan paradigma ini. Dengan pendekatan ini semua orang dapat sampai pada agama. Disini dapat dilihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normalis, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupannya. Oleh karena itu, agama hanya merupakan hidayah Allah dan merupakan suatu kewajiban manusia sebagai fitrah yang diberikan Allah kepadanya.[18] Pemahaman terhadap ilmu sejarah menjadi penting bagi kalangan intelektual hukum (Islam) untuk melihat mata rantai antara satu kejadian dan kejadian lain sehingga tidak terjadi distorsi dalam menjustifikasi sebuah peristiwa hukum. Begitu pula, kajian sejarah menjadi alat ukur bagi kalangan intelektual dari berbagai disiplin ilmu dalam memilih dan memilah masalah.[19]
4. Nilai-Nilai Universal Pendekatan Historis
          Islam memandang ummat manusia secara utuh (syaamilah) dari berbagai aspeknya yang meliputi jasmiah (fisik), nafsih (psikologis), aqliah (rasio), dan ijtimaiah (masyarakat) sehingga orang muslim tidak kelaparan dari aspek jasmiah, tidak kegelapan dari aspek aqliah, tidak ada keguncangan dari aspek nafsiah. Jika terjadi pada manusia yang menganut suatu ideologi, mementingkan suatu aspek, dan melalaikan aspek lainnya pasti terjadi ketimpangan pada manusia itu sendiri.[20]
          Dalam hubungan ini, Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam berdasarkan pendekatan sejarah (history) ketika ia mempelajari al-Quran sampai pada kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Quran itu terbagi menjadi dua bagian;  (a) berisi konsep-konsep;  (b) berisi kisah sejarah dan perumpamaan. Dalam bagian pertama dikenal banyak konsep, baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah, konsep tentang malaikat, tentang akhirat, fenomena konkret dan diamati (obsess uagle). Misalnya konsep orang zalim (zhalimun), takabur (mustakbirun), dan koruptor. Melalui pendekatan sejarah ini diajarkan untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa, maka seseorang tidak dapat memahami agama keluar dari konteks historis, karena pemahaman demikian itu menyesatkan orang yang memahaminya.[21]
KESIMPULAN

           
            Pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu pengetahuan yang digunakan untuk memahami agama. Karena untuk dapat memahami Islam diperlukan metodologi, karena Islam bukan hanya sebagai suatu agama melainkan merupakan suatu disiplin ilmu dan ilmu membutuhan metodologi. Metodologi untuk mengkaji Islam melalui beberapa pendekatan, diantaranya;pendekatan historis, pendekatan sosiologi, pendekatan teologis normative, pendekatan social budaya, pendekatan antropologi, pendekatan psikologi. Sedangkan historis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti asal usul, silsilah, kisah, riwayat, dan peristiwa. Sedangkan Historis menurut Abuddin Nata adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatkan unsur tempat, waktu, objek, dan latar belakang peristiwa tersebut. Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigm realitas agama yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Oleh karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu, penelitian ilmu social, penelitian legalistik, atau penelitian filosofis.












DAFTAR PUSTAKA


Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Cet. 4, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000
Dedi  Supriyadi,  Sejarah  Peradaban  Islam,  Bandung,  Pustaka  Setia,  2008
Ibn  Khaldun,  Muqaddimah, Terjemah  Ahmadi  Thoha,  Pustaka  Firdaus, 1986
Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di
Indonesia, Jakarta, Teraju
Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya:Kartika Surabaya, 1989
Muhammadiyah Ja’far,  Beberapa Aspek Pendidikan Islam, Surabaya, Al-Ikhlas,
            1981
M.Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer,Jakarta:Sinar Grafika Offset, 2006




 
 


[1] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2008, hlm.13
[2] Ibn Khaldun, Muqaddimah, Terj. Ahmadi Thoha, Pustaka Firdaus, 1986, hlm.3-13
[3] M.Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer,Jakarta:Sinar Grafika Offset, 2006, hlm.15
[4] Ibid, hlm.15
[5] Ibid, hlm.13-14
[6] Dedi Supriyadi, Op.Cit, hlm.14
[7] Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya:Kartika Surabaya, 1989, hlm.481
[8] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam,Cet. 4, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2000, hlm.1-8
[9] M.Yatimin Abdullah, Op.Cit, hlm.58
[10] Ibid, hlm.59
[11] Ibid. hlm.60
[12] Ibid, hlm. 15
[13] Ibid, hlm. 15
[14] Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia, Jakarta, Teraju, 2002, hlm.47-48
[15] Ibid, hlm.48
[16] M. Yatimin Abdullah, Op.Cit, hlm.221-222
[17] Ibid, hlm.222
[18] Ibid, hlm. 58-59
[19] Dedi Supriyadi, Kata Pengantar Nurol Aen (Guru Besar Hukum Islam Fakultas Syariah dan Hukum),Op.cit, hlm.5
[20] Muhammadiyah Ja’far, Beberapa Aspek Pendidikan Islam, Surabaya, Al-Ikhlas, 1981, hlm.13-148
[21] M. Yatimin Abdullah, Op.Cit, hlm. 59-60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar