BAB I
PENDAHULUAN
Situasi sosial, kultural masyarakat kita akhir-akhir ini
memang semakin mengkhawatirkan. Ada berbagai macam peristiwa dalam pendidikan
yang semakin merendahkan harkat dan martabat manusia. Hancurnya nilai-nilai
moral, merebaknya ketidakadilan, menjamurnya kasus korupsi, terkikisnya rasa
solidaritas telah terjadi dalam dunia pendidikan kita. Bisa dikatakan saat ini
negara kita sedang dilanda wabah “demoralisasi akut” yang menunggu untuk segera
di atasi, jika tidak ingin negara ini menjadi semakin hancur. Dari sini
kemudian muncul pertanyaan ada apa dengan pendidikan kita? Rupanya usaha
perbaikan di bidang pendidikan dirasa tidak hanya cukup dengan perbaikan sarana
dan prasarana pendidikan saja, melainkan membutuhkan perencanaan kurikulum yang
sangat matang yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan bangsa ini.
Selain persoalan di atas, akhir-akhir ini telah terjadi
perubahan nilai yang sangat cepat dan terjadinya ekspektasi yang tidak terduga
sebagai dampak kemajuan teknologi, informasi dan globalisasi. Oleh sebab itulah
bagaimanakah mempersiapkan/membangun karakter bagi peserta didik dalam menghadapi pengaruh global. Untuk itu
perlu disusun suatu perencanaan kurikulum pendidikan karakter untuk diterapkan
di setiap satuan pendidikan kita mengingat berbagai macam perilaku yang tidak
mendidik telah merasuk dalam sendi-sendi penyelenggaraan pendidikan dan
kehidupan masyarakat kita.
Secara umum pendidikan karakter memang belum menjadi
prioritas utama dalam pembangunan bangsa dan belum diterapkan secara holistik
dalam kurikulum Pendidikan Nasional. Namun dengan adanya Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP), guru-guru memiliki peluang besar untuk menerapkan
pendidikan karakter ke dalam masing-masing satuan pendidikan, karena : pertama,
KTSP didefinisikan sebagai kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan peserta didikan di masing-masing
satuan pendidikan.
Salah satu prinsip pengembangan KTSP di antaranya kurikulum
dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip yang berpusat pada potensi,
perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kedua,
Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan adalah meletakkan dasar
kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia , serta keterampilan
untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dan yang ketiga, Konsep
pendidikan karakter terbaca dalam rumusan yang telah dibuat oleh Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP) yaitu : Pendidikan yang mengintegrasikan semua
potensi peserta didik , pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta
keterampilan hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Kurikulum
Dalam bahasa arab istilah “ kurikulum “
di artikan dengan Manhaj, yakni jalan yang terang, atau jalan terang yang di
lalui oleh manusia dalam bidang kehidupannya. Sedangkan dalam konteks
pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang dilalui oleh pendidik/guru
dengan peseerta didik untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap
serta nilai-nilai.
Al-Khauly (Muhaimin.2009) menjelaskan
al-Manhaj sebagai seperangukat rencana dan media untuk mengantarkan lembaga
pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang Di inginkan. Saylor dan Alexander (Muhaimin 2009)
menyatakan bahwa kurikulum adalah segala usahasekolah/ perguruan tinggi yang
bisa menghasilkan atau menimbulkan
hasil-hasil belajar yang di kehendaki, apakah di dalam situasi-situasi sekolah
ataupun di luar sekolah.[5]
Masing-masing
definisi dengan penekannya tersebut akan mempunyai implikasi tertentu
B. Definisi Pendidikan Karakter
Kata ‘karakter’ sesungguhnya berasal dari bahasa Latin: “kharakter”,
“kharassein”, “kharax”, dalam bahasa Inggris: character, dalam
bahasa Indonesia: “karakter”, dan dalam bahasa Yunani: character, dari charassein
yang berarti membuat tajam, membuat dalam.[1] Hendro Darmawan mengartikan
karakter sebagai watak, tabiat, pembawaan, dan kebiasaan.[2] Pengertian yang tidak berbeda juga
dikemukakan Dharna Kesuma yang mengatakan bahwa arti kata karakter adalah budi
pekerti, akhlak, moral, afeksi, susila, tabiat, dan watak.[3]
-------------------------------
[1] Abdul
Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (PT.
Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 11.
[2]
Hendro Darmawan, dkk., Kamus Ilmiah Populer Lengkap, (Yogyakarta:
Bintang Cemerlang, 2010), hlm. 277.
[3] Dharma Kesuma, dkk., Pendidikan
Karakter; Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2011), hlm. 24.
Karakter dipengaruhi oleh faktor genetis dan faktor
lingkungan seseorang. Pada sisi faktor lingkungan maka karakter seseorang
banyak dibentuk oleh orang lain yang sering berada di dekatnya atau yang sering
mempengaruhinya, kemudian ia mulai meniru untuk melakukannya.
Misalnya, seorang siswa Madrasah Ibtidaiyah yang masih polos
seringkali mengikuti tingkah laku orang tuanya atau teman mainnya, bahkan
pengasuhnya. Karena karakter terbentuk dari proses meniru yaitu melalui proses
melihat, mendengar dan mengikuti, maka karakter sesungguhnya dapat diajarkan
atau diinternalisasi secara sengaja melalui aktivitas pendidikan dengan
mengembangkan kurikulum yang berbasis pendidikan karakter”. Dengan demikian
maka dapat disimpulkan bahwa karakter adalah merupakan hadiah Tuhan yang di
bawa sejak lahir dan kemudian berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya melalui
aktivitas belajar.
Strategi pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter
dapat dilakukan melalui tiga (3) hal, yaitu: 1) mengintegrasikan butir-butir
nilai karakter ke dalam seluruh mata pelajaran, muatan lokal dan kegiatan
pengembangan diri, 2) pembiasaan dalam kehidupan
sehari-hari di sekolah (pelayanan, pengelolaan dan pengajaran), dan 3)
meningkatkan kerjasama antara sekolah, orang tua peserta didik, dan masyarakat
dalam hal membudayakan/ membiasakan nilai-nilai karakter di lingkungan sekolah,
lingkungan rumah tangga dan lingkungan masyarakat.
Dasar pelaksanaan pendidikan karakter sesungguhnya adalah
berlandasakan kepada tujuan pendidikan nasional dan pesan dari UU Sisdiknas
tahun 2003 yang mengharapkan agar pendidikan tidak hanya membentuk manusia yang
pintar namun juga berkepribadian (berkarakter), sehingga nantinya akan lahir
generasi muda yang tumbuh dan berkembang dengan kepribadian yang bernafaskan
nilai-nilai luhur Agama dan Pancasila. Demikian pula halnya di dalam Standar
Kelulusan (SKL) Madrasah Ibtidaiyah ditemukan bahwa sebagian besar hasil
belajar adalah merupakan pembentukan nilai-nilai karakter yang baik di dalam
diri peserta didik, seperti: karakter beriman dan bertaqwa kepada Tuhan,
bertanggungjawab, jujur, dan disiplin.
Rasulullah
Saw. Bersabda di dalam sebuah potongan hadis: وَمَنْ حَسَّنَ خُلُقَةُ بُنِيَ لَهُ فِي أَعْلَاهَا (Artinya: Barangsiapa
memperbaiki akhlaknya maka baginya akan dibangunkan istana di surga yang paling
tinggi (HR. Ibn Majah: No. 50).
Namun, strategi penerapan pendidikan karakter tersebut
ternyata belum terlaksana dengan baik di beberapa sekolah dan Madrasah. Sebab,
fokus sebagian lembaga pendidikan dewasa ini masih pada pembekalan ilmu
pengetahuan dan skill untuk bekerja sehingga siswa mampu bersaing dan
mempertahankan hidupnya. Sedangkan pembentukan watak, karakter atau ahlak
nyaris hampir tidak diperhatikan dan inilah pendidikan yang selama ini
terlupakan, padahal karakter inilah yang menentukan pada arah masa depan yang
lebih cerah. Suatu bangsa akan mengalami keterpurukan disebabkan karena tidak
memiliki karakter yang baik. hal itulah yang mengakibatkan bangsa ini terpuruk
dan tidak keluar dari krisis multi dimensi.[4]
Dekadensi moral yang dialami oleh generasi bangsa ini juga
menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan yang selama ini diselenggaran kurang
menyentuh pada pembentukan karakter siswa. Sebab, tanggung jawab pembinaan
karakter dipandang sebagai tanggung jawab sebagian guru saja, seperti
guru Pendidikan Agama Islam, Bahasa Indonesia dan IPS, dan bukan tanggung jawab
seluruh personil sekolah. Oleh sebab itu, maka pendidikan karakter di sekolah
selalu gagal dan kegagalan tersebut juga malah dikambing hitamkan
terhadap kegagalan beberapa guru bukan kegagalan pendidikan. Oleh karena itu,
maka perlu dilakukan pembenahan kuriku/lum agar terintegrasi dengan pendidika karakter.
C. Pendekatan-pendekatan Dalam Pendidikan
Karakter
Untuk membentuk karakter anak dapat
dilakukan dengan berbagai macam pendekatan, selain yang dijelaskan diatas,
pembentukan karakter anak dapat dilakukan dengan sikap sebagai berikut:
1. Keteladanan
Dalam
al-Qur’an kata teladan diproyeksikan dengan kata uswah yang kemudian
dibelakangnya diberi kata sifat hasanah yang berarti baik, sehingga
terdapat ungkapan uswah hasanah yang artinya teladan yang baik.
--------------------------------
[4]. H.A.R Tilaar, Standarisasi Pendidikan Nasional, Suatu
Tinjauan Kritis (Jakarta: Renika Cipta,
Keteladanan adalah merupakan sebuah
sikap dan perilaku yang muncul dari hati nurani yang paling dalam, sehingga apa
yang dilakukukan tidak menyimpang dari kehendak Tuhan dan norma-norma yang ada
ditengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu dalam mendidik manusia Allah
menggunakan contoh atau teladan sebagai model terbaik agar mudah diserap dan
diterapkan oleh manusia.
Contoh
atau teladan diperankan oleh para Rasul dan nabi Allah, sebagaimana firmanNya :
Artinya:
Sesungguhnya
pada diri mereka (Ibrahim dan Ummatnya) ada teladan yang baik bagimu; yaitu
bagi orang-orang yang mengharap pahala dari Allah dan keselematan pada hari
kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Dialah Allah yang
Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Al-Mumtahanah: 60:6)[5]
Artinya:
Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu yaitu bagi
orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut nama Allah (Al- Ahzab/33:21) [6]
-----------------------------
[5]. Departemen
agama RI. Al-Hidayah Tafsir dan Terjemahannya
[6]. Up cit
Ayat tersebut menjelaskan pentingnya keteladanan, sehingga
dalam mendidik manusia Allah menggunakan model yang harus dan layak dicontoh.
Oleh karena itu, dalam membentuk karakter anak, keteladanan merupakan
pendekatan pendidikan yang paling ampuh. Misalnya dalam keluarga, orang tua
yang diamanahi berupa anak-anak harus menjadi teladan yang baik, dalam lingkup
sekolah maka guru yang menjadi teladan bagi anak didik dalam segala hal. Tanpa
keteladanan apa yang diajarkan kepada anak didik hanya akan menjadi teori
belaka. Jadi, keteladanan guru dalam berbagai aktivitasnya akan menjadi cermin
siswanya, Oleh sebab itu sosok guru yang bisa diteladani siswa adalah guru yang
mempunyai jiwa dan karakter yang islami.
2.
Penanaman
Kedisiplinan
Amiroeddin
Sjarif mengatakan bahwa kedisiplinan pada dasarnyaadalah suatu ketaatan yang
sungguh-sungguh yang didukung oleh kesadaranuntuk menunaikan tugas dan
kewajiban serta berperilaku sebagaimanamestinya menurut aturan-aturan atau tata
kelakuan yang seharusnya berlakudalam suatu lingkungan tertentu
Satria
Hadi Lubis, dalam bukunya “Saatnya Memperbaiki Diri” mengatakan bahwa
disiplin berarti melakukan sesuatu sesuai dengan aturan. Baik aturan yang
dibuat oleh manusia maupun aturan yang dibuat oleh Allah dalam bentuk hukum
alam (ayat kauniyah) dan hukum kebenaran (ayat qouliyah). Semua aturan
tersebut berperan besar dalam membentuk karakter (akhlak) individu
Dengan
demikian, kedisiplinan dalam melaksanakan aturan dalam lingkungan atau kegiatan
yang dilakukan secara rutin itu terdapat nilai-nilai yang menjadi tolek ukur
tentang benar tidaknya suatu yang dilakukan oleh seseorang. Bentuk kedisiplinan
yang diberlakukan adalah merupakan sebuah usaha untuk membentuk karakter
individu
3. Pembiasaan
Anak akan tumbuh dan berkembang sebagaimana lingkungan yang
mengajarinya dan lingkungan tersebut juga yang menjadi kebiasaan yang
dihadapinya setiap hari. Jika lingkungan mengajarinya dengan kebiasaan berbuat
baik, maka kelak anak akan terbiasa berbuat baik dan sebaliknya jika seorang
anak tumbuh dalam lingkungan yang mengajarinya berbuat kejahatan, kekerasan,
maka ia akan tumbuh menjadi pelaku kekerasan.
Banyak perilaku yang merupakan hasil pembiasaan yang
berlangsung sejak dini. Oleh sebab itu, tanggung jawab orang tua adalah
memberikan lingkungan terbaik bagi pertumbuhan anak-anaknya, karena kenangan
utama bagi anak-anak adalah kepribadian ayah dan ibunya.
4. Menciptakan Suasana
Yang Kondusif
Terciptanya suasanya yang kondusif akan memberikan iklim
yang memungkinkan terbentuknya karakter. Oleh karena itu, berbagai hal yang
terkait dengan upaya pembentukan karakter harus dikondisikan, terutama
individu-individu yang ada dilakungan itu.
D.
Fakto-Faktor
yang Mempengaruhi Karakter
Karakter adalah sifat dasar yang dimiliki oleh setiap
individu, oleh karena itu sifat tersebut dapat dikembangkan, dan perkembangan
tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Ratna Megawangi menjelaskan
bahwa terbentuknya karakter itu adalah ditentukan oleh 2 faktor, yaitu:
1. Faktor Intern
(Endogen)
Setiap anak terlahir belum memiliki pengendalian terhadap
dirinya sendiri ia belum mampu mengelola keinginan-keinginannya. Oleh sebab
itulah, penanaman dan pembiasaan karakter pada anak dapat dilakukan sedini
mungkin. Sebab, sekali kita lengah, fitrah tersebut akan segera diisi oleh
karakter buruk yang ada disekitar. Seorang sufi, Bawa Muhaiyaddeen,
menggambarkan bahwa manusia yang seharusnya tumbuh sesuai dengan
fitrahnya-ibarat sebuah pohon yang sedang tumbuh, diokulasi atau ditempel
dengan jenis pohon lainnya yang tidak sesuai dengan fitrahnya. Dengan begitu,
otensi” pohon “ tersebut, yang seharusnya berbuah kemuliaan, ternyata berbuah
kemudaratan. Namun, potensinya (akar atau fitrahnya) masih tetap berada dalam
kesucian.
2. Faktor Eksogen/Nature
(Faktor Lingkungan)
Sebagaimana kita ketahui, bahwa manusia dilahirkan dalam
keadaan fitrah atau suci tanpa memiliki karakter (akhlak) tertentu, manusia
dilahirkan hanya dibekali dengan pembawaan berupa nilai-nilai ketakwaan
(kebaikan) dan nilai-nilai kejelekan (kejahatan) dan keduanya sangat berpotensi
untuk dikembangkan melalui berbagai pengaruh.
Secara
garis besar faktor lingkungan yang mempengaruhi karakter menurut Ratna megawati
terbagi dalam dua bagian:
a.)
Pendidikan
Bruner (Hamzah)
mengusulkan teorinya yang disebut free
discovery learning. Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan
baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan pada siswa untuk menemukan
suatu aturan melalui contoh-contoh yang menggambarkan aturan yang menjadi
sumbernya. Dengan kata lain, siswa dibimbing secara induktif untuk memahami
suatu kebenaran umum. Untuk memahami konsep kejujuran, misalnya, siswa
pertama-tama tidak menghafal definisi kata kejujuran, tetapi mempelajari
contoh-contoh kongkret tentang kejujuran tersebut. Dan dari contoh itulah siswa
dibimbing untuk mendefinisikan kata “kejujuran”
Sanubari. Potensi tersebut harus disyukuri dengan cara
mengisinya dengan ajaran dan pendidikan. Selanjutnya, Zakiah Daradjat juga
menyatakan bahwa setiap orang tua dan guru ingin membina anaknya ingin menjadi
orang yang baik, mempunyai kepribadian dan sikap mental yang kuat serta akhlak
yang terpuji. Semuanya itu dapat diusahakan melalui pendidikan, baik pendidikan
disekolah atau diluar sekolah. Setiap pengalaman yang dilalui anak baik melalui
penglihatan dan pendengaran akan menentukan pribadinya.
Hal ini
sesuai pula dengan yang dilakukan Luqmanul Hakim kepada anaknya, terlihat pada
ayat berikut:
Artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya,
diwaktu ia member pelajaran padanya. “ Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan ALLAH, sesungguhnya mempersekutukan (ALLAH) adalah benar-benar
kezhaliman yang besar. Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada kedua ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.bersyukurlah kepadaku dan
kepada dua orang ibu bapakmu.hanya kepada-kulah kembalimu. (QS. Luqman, 31:
13-14).
Ayat tersebut selain menggambarkan tentang pelaksanaan
pendidikan yang dilakukan Luqmanul Hakim, juga berisi materi pelajaran dan yang
utama di antaranya adalah pendidikan tauhid atau keimanan, karena keimananlah
yang menjadi salah satu dasar yang kokoh bagi pembentukan karakter (akhlak).
2)
Sosial
Robert J
(Ahmadi 2005) mengemukakan bahwa moral yang bersumber dari adanya suatu tata
nilai adalah a value is an obyect estate
or affair wich is desired (tata nilai adalah suatu objek rohani atas suatu
keadaan yang di inginkan). Maka kondisi atau potensi internal kejiwaan
seseorang untuk dapat melakukan hal-hal yang baik, sesuai dengan nilai-nilai
(value) yang diinginkan itu disebutnya sebagai moral. [7]
Dengan
demikian perkembangan moral seseorang itu berkaitan erat dengan perkembangan
sosial anak, disamping pengaruh kuat dari perkembangan pikiran, perasaan serta
kemauan atas hasil tanggapan dari anak.
Contoh :
adanya kontak dengan orang lain, pada gilirannya akan muncul pula rasa untuk
saling menghargai, saling tolong menolong, dan lain-lain. Hal semacam inilah
yang padaa biasa kita sebut dengan istilah pembentukan karakter.
Sosialisasi
juga sangat berperan penting dalam pembentukan karakter anak seperti dalam
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
----------------------
[7]. Ahmadi.
Psikologi Perkembangan
a. Lingkungan Social dalam keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang
anak dididik dan dibesarkan. Funsi utama keluarga seperti yang diuraikan dalam
resolusi majelis umum PBB adalah “ keluarga sebagai wahana untuk mendidik,
mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya
agar dapat menjalankan fungsinya dimasyarakat dengan baik serta memberikan
kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera”.
b. Lingkungan Social sekolah
Interaksi Social dalam lingkungan di keluarga sangat berperan dalam
membentuk karakter anak. Namun kematangan emosi social ini selanjutnya sangat
dipengaruhi oleh lingkungan sekolah. Sekolah adalah tempat yang sangat
strategis untuk pendidikan karakter, karena anak-anak dari semua lapisan akan
mengenyam pendidikan disekolah. Selain itu, apa yang didapatkannya disekolah
akan mempengaruhi pembentukan karakternya.
Dari uraian diatas jelas bahwa kesamaan motif yang
didasarkan pada atas kesamaan kebutuhan, menyebabkan orang-orang menghimpun
diri dan bekerjasama di dalam suatu wadah yang disebut dengan lembaga atau
institusi, keadaan seperti itu berlangsung juga dalam bidang pendidikan,
sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan diluar lingkungan keluarga sebagai
suatu kebutuhan bersama, harus dilaksanakan secara teratur, terarah dan terus
menurus.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas dapat di simpulkan bahwa, keterkaitan
antara nilai-nilai perilaku dalam komponen-komponen moral karakter ( knowing,
feeling, dan action) terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama,
lingkungan, dan kebangsaan membentuk suatu karakter manusia yang unggul, baik
(akhlaknya) . Pengelolaan yang dimaksudkan adalah bagaimana pembentukan
karakter dalam pndidikan direncanakan, di laksanakan dan di kendalikan secara
memadai.
Pendidikan
Karakter adalah upaya penyiapan kekayaan batin peserta didik yang berdimensi
agama, Social,
budaya , yang mampu diwujudkan dalam bentuk budi pekerti, baik dalam perbuatan,
perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan kepribadian.
Adapun pembentukan karakter ini tidak
bisa hanya dilakukan oleh sebelah pihak saja. Artinya seluruh guru bidang
studi, kepala sekolah, wakil-wakil dan staf-staf karyawan yang terdapat di
lingkungan sekolah tersebut harus turut mendukung untuk terwujudnya karakter
yang baik (akhlak mulia).
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Ahmadi,
Munawar Psikologi Perkembangan, Renika
Cipta.2005
Al-Gazali, Abū Hamid, Ihya
Ulumuddin Mesir: Daar al-Taqwa, t.th.
Aunillah, Nurla Isna, Panduan
Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah, Yogyakarta: Laksana, 2011.
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan
Karakter Perspektif Islam, (PT. Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 11.
Hendro Darmawan, dkk., Kamus Ilmiah Populer
Lengkap, (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2010), hlm. 277.
Dharma Kesuma, dkk., Pendidikan
Karakter; Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2011),
hlm. 24
Departemen
Agama Republik Indonesia. Tafsir Al-qur’an
dan Terjemahannya secara lafziah.
Endah
Sulistiyowati. Implementasi Kurikulum
Pendidikan Karakter. PT. Citra Aji Pertama. 2012
Hendro Darmawan, dkk., Kamus
Ilmiah Populer Lengkap, (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2010), hlm. 277.
Majid, Abdul dan Dian Andayani, Pendidikan
Karakter Perspektif Islam, PT. Remaja Rosdakarya, 2011.
Muhaimin, dkk., Pengembangan
Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Pada Sekolah dan Madrasah, Jakarta:
Rajawali Pers, 2009.
INTEGRASI
PENDIDIKAN KURIKULUM PAI
DAN PENDIDIKAN
KARAKTER DI MADRASAH IBTIDAIYAH
(MATA KULIAH
PENGEMBANGAN KURIKULUM)
MAKALAH
DOSEN
PEMBIMBING
DR. AGUS
PAHRUDIN, M.Pd
Disusun Oleh
K H A I R A N I
E
1222-01-0049
PROGRAM PASCA
SARJANA
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGRI RADEN INTAN
BANDAR LAMPUNG
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar